Bismillahirrahmanirrahim,
Biar semangat lagi nulis blog nya dan lebih terstruktur, saya buat blog baru yang fokus untuk hal - hal berkaitan dengan policy analysis, maupun tulisan - tulisan random lainnya di:
https://policyanalyst101.wordpress.com/
Monggo dicek :)
Ada udang di balik batu!
Thursday, February 25, 2016
Saturday, July 25, 2015
REFLEKSI TUGAS AKHIR S1 (Bagian Pertama)
Hello world! Kali ini saya mau curhat
sedikit tentang insight – insight yang
saya dapatkan selama mengerjakan tugas akhir (skripsi) di program sarjana
Teknik Industri UI. Singkat kata, skripsi saya berjudul ‘Evaluasi Kebijakan
Transisi Kendaraan BBM ke BBG dengan Menggunakan Permodelan Berbasis Agen
(Studi Kasus DKI Jakarta)’. Ya, judul yang cukup panjang menurut saya buat
sebuah skripsi! Tapi tenang, sebenarnya skripsinya gak seberat judulnya. Halaman
skripsi saya hanya 61 halaman!
Sedikit cerita
tentang latar belakang tema yang saya angkat, believe it or not, jumlah kendaraan roda empat alias mobil di DKI
Jakarta berjumlah hingga 25% dari seluruh jumlah mobil yang ada di Indonesia!
Bisa kita bayangkan kenapa jalanan di Jakarta sering banget macet. Tapi bukan
itu yang saya angkat, melainkan potensi dibalik angka tersebut. Seperti yang
kita tahu, transportasi darat Indonesia sudah sangat amat amat amat bergantung
dengan bahan bakar minyak yang notabenenya tidak baik (polusi cukup berbahaya,
disubsidi pula). Di sisi lain pemanfaatan gas bumi (yang sekitar 48% produksi
lokal kita malah diekspor alih – alih dimanfaatkan untuk kepentingan domestik)
sebagai bahan bakar kendaraan masih sangat minim. Oleh karena itu DKI Jakarta
dapat menjadi potensi besar untuk melakukan transisi kendaraan bahan bakar
minyak (BBM) menuju bahan bakar gas (BBG). Jika transisi berhasil dilakukan di
Jakarta maka besar kemungkinan akan terjadi efek domino ke daerah – daerah lain
di Indonesia!
Oke, itu sedikit
latar belakang skripsi saya. Lanjut ke rumusan permasalahan……
Masalahnya,
transisi itu gak gampang! Banyak negara yang berhasil menyukseskan transisi
kendaraan menuju bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, namun lebih banyak
negara yang belum berhasil melaksanakan transisi tersebut. Diperlukan kebijakan
yang komprehensif agar transisi kendaraan dapat berhasil. Dan itulah yang saya
lakukan! Menganalisa tiga opsi kebijakan transisi kendaraan BBM ke BBG
(pemberian converter kit gratis,
pendirian SPBG, dan pemberian subsidi pada pembelian converter kit) dengan menggunakan pendekatan permodelan berbasis
agen.
Refleksi #1 : Dilema dalam menentukan
kebijakan
Pengambilan
keputusan (bahasa kerennya: decision
making) itu gak simple! Sederhananya kita pasti pernah (bahkan mungkin
setiap hari) dihadapi dengan pengambilan keputusan: nanti ketemu teman di blok
m naik apa, nanti siang makan siang pake apa, nanti malam tidur sama istri yang
mana (eh!). Misal anda mau ke blok m dari depok, ada berbagai opsi: 1) naik
motor, 2) naik bis depok-blok m, 3) naik kereta ke sudirman, sambung kopaja ke
blok m. Tentu anda akan berpikir kalau naik motor gampang, cepat, tapi capek
dan gak nyaman. Kalau naik bis malah lebih murah (Cuma 4000 udah sampe blok m
coy!), tapi panas dan sumpek (kopaja blok m – depok sering banget penuh dan
sumpek abis). Kalau naik kereta sambung kopaja agak mahal, tapi lebih cepat
dari naik bis depok-blok m dan jauh lebih nyaman. Hasilnya: dilema!
And that’s one of the first steps policy
analysts do: deciding and making explicit the criteria! Dilema terjadi
karena ada keunggulan dan kelemahan (bahasa kerennya: tradeoff) dari setiap alternatif. Masalahnya, seringkali kita
memikirkan tradeoff tersebut secara abstrak seperti yang dijelaskan
di paragraf sebelumnya. Tradeoff yang
abstrak tersebut menyebabkan pengambilan keputusan kita tidak optimal sehingga
keputusan yang kita ambilpun mungkin bukan yang terbaik. Tradeoff yang abstrak tersebut harus diubah ke dalam kriteria –
kriteria yang jelas. Dalam kasus di atas misalnya, maka kriterianya adalah: 1)
ongkos, 2) waktu, 3) kenyamanan. Baru deh setiap alternatif dinilai berdasarkan
tiga kriteria tersebut. Dan yang paling penting: make it explicit! Gampangnya, bikin dalam tabel, barisnya itu
alternatif A, B, C dan kolomnya adalah kriteria ongkos, waktu, dan kenyamanan. Tinggal dinilai deh setiap alternatif
berdasarkan kriteria – kriteria tersebut.
Yes, making explicit matters a lot! Otak
kita tidak bisa memproses banyak informasi secara simultan, sehingga keputusan
yang diambil jika alternatif hanya dipikirkan secara abstrak tidak akan
seoptimal keputusan jika dibuat secara eksplisit dalam tabel. Contoh seperti
kasus di atas, jika kita menilai alternatif dengan tidak eksplisit, kita lupa menilai
alternatif naik motor dari segi biaya. Kita hanya membandingkan aspek waktu
dari naik bis (opsi kedua) dan naik kereta-sambung kopaja (opsi ketiga), tidak
membandingkannya dengan opsi pertama (naik motor). Perbandingan tingkat
kenyamanan untuk setiap opsinya pun tidak jelas, tidak dengan standar yang sama
antara satu opsi dengan opsi lainnya. Alhasil proses penentuan kebijakan kita
menjadi tidak efektif dan efisien.
Hal tersebut
juga yang sering saya alami selama 3-4 tahun berorganisasi di kampus. Seringkali
saat ingin membuat keputusan, diskusi terjadi sangat panjang lebar karena tradeoff antar alternatif keputusan
hanya dibicarakan (alias didiskusikannya secara abstrak) alih – alih membuatnya
eksplisit (dalam tabel, misalnya). Seringkali pendapat yang diterima dan diaminin
adalah pendapat yang diucapkan oleh orang terakhir dalam suatu diskusi,
sedangkan pendapat – pendapat sebelumnya akhirnya diacuhkan. Alhasil banyak
pendapat – pendapat cemerlang yang tidak mendapat perhatian secara imbang
dengan pendapat – pendapat lainnya.
Dalam konteks
penelitian saya, penentuan kebijakan transisi kendaraan BBM ke BBG ditentukan
berdasarkan aspek transisi (berapa jumlah kendaraan yang terkonversi dan
bagaimana pola konversinya?), aspek keberlangsungan bisnis SPBG (apakah setiap
SPBG memiliki pangsa pasar yang cukup untuk mempertahankan profitabilitasnya?),
serta aspek ekonomi (apakah pemerintah mengalami keuntungan secara finansial
akibat kebijakan yang dilaksanakan?). Setiap alternatif kebijakan memiliki output yang unggul pada salah satu aspek
kriteria di atas, sehingga kebijakan dapat dipilih berdasarkan proposisi nilai
yang dianggap paling penting dengan tidak melupakan aspek – aspek kriteria yang
lain.
Melakukan
skripsi di bidang yang menyentuh analisis kebijakan membuka mata saya bahwa
penentuan kebijakan yang dilakukan pemerintah itu dipenuhi dilema. Tak heran
bahwa beberapa kebijakan membutuhkan kajian yang lebih mendalam dan lebih lama
akibat kompleksitas dilema tersebut. Ironinya, sebagian kebijakan tidak melalui
proses pengambilan keputusan yang cukup komprehensif (setidaknya seperti yang
saya jelaskan di bagian ini). Masih terbuka room
for improvement yang sangat lebar untuk membuat pengambilan keputusan di
pemerintahan menjadi lebih efektif dan efisien.
Oke! Cukup
sekian curhatan saya dalam edisi tulisan kali ini. Masih akan ada curhatan –
curhatan skripsi lainnya di postingan yang berbeda, so stay tuned!
Friday, April 17, 2015
Sedikit Tentang Sustainability
Sustainability is.....
Every RENEWABLE RESOURCE
must be used at or below the rate at which it can regenerate itself.
Every NONRENEWABLE RESOURCE
must be used at or below the rate at which a renewable substitute can be
developed.
Every POLLUTION STREAM must
be emitted at or below the rate at which it can be absorbed or made harmless.
Itulah tiga definisi sustainability
yang menjadi hal pertama yang dibicarakan oleh Donella Meadows saat kuliah
umumnya tentang Sustainable Systems. Jika
kita perhatikan sekitar kita, maka tidak ada yang sustainable. Sekolah kita tidak sustainable,
kendaraan kita tidak sustainable, mall
– mall yang ada tidak sustainable, bahkan
kamar tidur kita sendiri pun mungkin tidak sustainable.
Every RENEWABLE RESOURCE must be used at or below the rate at which it
can regenerate itself. Berbicara tentang renewable resource, hal pertama yang
terpikirkan adalah energi matahari, angin, turbin air, dan sebagainya. Namun
perlu disadari bahwa tumbuhan dan hewan pun juga termasuk bagian dari renewable resource karena sifatnya yang
dapat berkembangbiak. Ambil contoh
sederhana ikan – ikan di laut. Berdasarkan fishbank
model yang dikembangkan oleh akademisi sistem dinamis, semakin canggih alat
penangkapan ikan maka semakin besar kecenderungan jumlah ikan di laut akan
berkurang drastis hingga pada satu titik jumlahnya akan mencapai 0. Hal
tersebut dikarenakan ikan memiliki suatu tingkat perkembangbiakan dan jika
tingkat penangkapan ikan melampaui (akibat semakin canggihnya alat penangkapan
ikan) tingkat perkembangbiakan ikan, maka populasi ikan laut akan habis.
Every NONRENEWABLE RESOURCE must be used at or below the rate at which a
renewable substitute can be developed. Diestimasikan cadangan batu
bara Indonesia akan habis dalam 75 tahun, cadangan gas bumi Indonesia akan
habis dalam 33 tahun dan cadangan minyak bumi Indonesia akan habis dalam 12
tahun. Di sisi lain, sektor transportasi sebagai konsumen energi terbesar di
Indonesia, memiliki pertumbuhan kendaraan bermotor pada tahun 2012 sebesar
10,25% dengan jumlah mobil penumpang sebanyak 10.432.259, jumlah truk sebanyak
5.286.061 dan sepeda motor sebanyak 76.381.183. Konsumsi listrik nasional dari
tahun 2004-2012 memiliki CAGR sekitar 8%, dengan konsumsi 100.097 GWh pada
tahun 2004 menjadi 173.990 GWh pada tahun 2012. Rumah tangga sebagai sektor
yang mengonsumsi 41% listrik nasional pun mengalami pertumbuhan sebanyak
250.000 hingga 400.000 per tahun. Sedangkan bagaimana kondisi energi terbarukan
di Indonesia? Tentu kita tahu bahwa pemanfaatan energi terbarukan seperti
matahari, angin maupun air di Indonesia masih sangat minim.
Every POLLUTION STREAM must be emitted at or below the rate at which it
can be absorbed or made harmless. Fakta – fakta pada paragraf
sebelumnya cukup memberikan gambaran bagaimana kondisi polusi di Indonesia.
Jika kita meninjau salah satu polutan berbahaya, gas rumah kaca, jumlah yang
diproduksi oleh Indonesia selalu meningkat. Pada tahun 2005, total gas rumah
kaca yang dihasilkan Indonesia mencapai 665.544 Gg CO2 ekuivalen dengan sektor
energi sebagai kontributor tertinggi (55%), disusul oleh sektor buangan rumah
tangga (25%), sektor agrikultur (12%) dan sektor industri (7,3%). Sementara itu
hutan Indonesia sebagai sektor utama yang dapat mengabsorbsi polusi udara mengalami
penurunan sebesar 15,8 juta hektar antara tahun 2000 dan 2012, menduduki negara
dengan angka kehilangan hutan kelima di dunia. Kita baru saja membicarakan
sebagian kecil dari polusi udara, sedangkan masih ada polusi air dan polusi
tanah yang tidak kalah luas pembahasannya.
Fakta – fakta yang ditampilkan di atas mungkin tidak sepenuhnya valid,
dan tidak sepenuhnya menjelaskan kondisi sustainability
Indonesia. Namun fakta – fakta di atas menunjukkan gambaran negara kita
saat ini. Kondisi yang sangat jauh dari sustainable.
Tinggal kita yang memilih: masih mau memanjakan diri dengan AC kah? Masih
mau bermalas – malasan menggunakan kendaraan pribadikah? Masih mau mengonsumsi
pangan secara berlebihan kah? Karena yang menanggung akibatnya bukan kita,
namun anak cucu kita.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Donella Meadows General Lecture on Sustainable Systems.
Statistik PLN 2013.
BPPT, Outlook Energi Indonesia 2014.
http://repository.upi.edu/5201/4/S_MBS_0906850_Chapter1.pdf.
http://rei.or.id/file/Materi%20Nugroho.pdf.
UNFCCC, National Economic, Environment and Development Study for Climate Change: Indonesia Country Study.
http://www.mongabay.co.id/2013/11/15/temuan-peta-hutan-google-laju-deforestasi-meningkat-di-indonesia/.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Donella Meadows General Lecture on Sustainable Systems.
Statistik PLN 2013.
BPPT, Outlook Energi Indonesia 2014.
http://repository.upi.edu/5201/4/S_MBS_0906850_Chapter1.pdf.
http://rei.or.id/file/Materi%20Nugroho.pdf.
UNFCCC, National Economic, Environment and Development Study for Climate Change: Indonesia Country Study.
http://www.mongabay.co.id/2013/11/15/temuan-peta-hutan-google-laju-deforestasi-meningkat-di-indonesia/.
Sunday, December 21, 2014
STOP Klakson!
STOP Klakson!
Sore ini ketika saya sedang mengemudi sepeda motor di ruas jalan Margonda, tepatnya di lampu merah Juanda arah dari Margo City, ada seorang pengendara sepeda motor lainnya yang kurang beruntung (sebut aja si A). Ketika lampu merah berubah menjadi hijau dan semua kendaraan jalan, motor si A yang berada di depan sebuah taksi tiba – tiba mogok dan tak bisa dinyalakan. Waktu saya melewati si A, si A sedang berusaha menyalakan motornya namun motor tak kunjung menyala. Taksi dibelakangnya pun mengklakson dengan sangat kencang, bertubi – tubi dan gak berhenti – henti. Klakson susulan dibunyikan oleh motor – motor dan mobil – mobil di belakangnya yang juga tidak dapat bergerak karena mogoknya motor si A ini.
Sore ini ketika saya sedang mengemudi sepeda motor di ruas jalan Margonda, tepatnya di lampu merah Juanda arah dari Margo City, ada seorang pengendara sepeda motor lainnya yang kurang beruntung (sebut aja si A). Ketika lampu merah berubah menjadi hijau dan semua kendaraan jalan, motor si A yang berada di depan sebuah taksi tiba – tiba mogok dan tak bisa dinyalakan. Waktu saya melewati si A, si A sedang berusaha menyalakan motornya namun motor tak kunjung menyala. Taksi dibelakangnya pun mengklakson dengan sangat kencang, bertubi – tubi dan gak berhenti – henti. Klakson susulan dibunyikan oleh motor – motor dan mobil – mobil di belakangnya yang juga tidak dapat bergerak karena mogoknya motor si A ini.
Oke, sebelum bahas kasus si A, saya tertarik untuk
membahas gambar reinforcing loop di
atas dulu. Di jalanan yang macet (lampu merah salah satunya) sering banget kita
temuin mobil – mobil dan motor – motor yang membunyikan klaksonnya karena tidak
sabar. Padahal kalau kita nglakson di kondisi tersebut, suara klakson kita akan
menambah emosi kumulatif semua pengemudi yang ada di jalan. Emosi kumulatif
yang bertambah ini memicu kita dan pengendara/pengemudi lainnya buat nglakson
juga, yang akhirnya jumlah klakson semakin banyak dan emosi kumulatif juga
meningkat terus. Akhirnya, yang kita dapat adalah capek karena emosi
mendengarkan klakson – klakson tersebut. Sadar ga sih mereka bahwa mereka
sedang terjebak dalam reinforcing loop di
atas?
Oke, mungkin sekarang orang sudah makin waras.
Mereka tidak klakson karena ketidaksabaran mereka, tapi mereka nglakson karena
ada perilaku salah satu pengemudi lainnya yang merugikan mereka. Contohnya,
kayak si A yang tidak beruntung ini. Masih benarkah kalo mereka nglakson?
Diagram loop
di atas menggambarkan ekspansi dari loop
sebelumnya, di mana sekarang ditambah perilaku si A. pengemudi – pengemudi
lainnya nglakson dengan harapan si A segera sadar untuk memperbaiki situasinya
(dalam hal ini nyalain motornya), sehingga si A meningkatkan usahanya dan
situasi yang tidak diinginkan (dalam hal ini mesin motor yang tiba – tiba mati
padahal lampu sudah hijau) segera diselesaikan. Kalau ‘situasi yang tidak
diinginkan’ sudah terselesaikan, maka jumlah klakson akan berkurang dan hilang
(panah biru menunjukkan hubungan yang berbanding lurus, sedangkan panah merah
menunjukkan hubungan berbanding terbalik).
Tapi sadarkah si pengemudi – pengemudi yang
mengklakson ini, bahwa ada dampak lain akibat klakson yang terlalu banyak? Coba
anda bayangkan kalau anda berada di posisi si A, dan tiba – tiba hujatan
klakson datang bertubi – tubi. Anda pasti akan kaget dan menjadi panik,
sehingga konsentrasi anda untuk memperbaiki situasi justru berkurang dan
‘situasi yang tidak diinginkan’ pun menjadi semakin lama terselesaikan. Jelas,
karena orang yang berada dalam tekanan cenderung tidak dapat berpikir dengan
lebih baik. Alhasil, justru klakson pertama akan mengundang klakson – klakson
lainnya untuk berbunyi dan memperkeruh suasana.
Diagram loop
di atas adalah diagram sederhana dari perilaku tipikal masyarakat Indonesia
(atau mungkin cuma Depok dan Jakarta?). Masalahnya, saat semakin banyak orang
berperilaku demikian, justru sebenarnya semakin memperparah suasana.
Andai kita sadar bahwa banyak tindakan kita yang
justru memperkeruh suasana.
Andai kita sadar bahwa perilaku sederhana yang
tidak baik akan menjadi masalah jika dilakukan oleh banyak orang.
Andai kita sadar bahwa sikap kita dapat
mempengaruhi sikap orang lain juga.
Dunia ini
bulat, begitu juga sistem di dalamnya.
Bramka Arga Jafino. 20 Desember 2014 pukul 21.18
WIB.
Subscribe to:
Posts (Atom)