Sunday, December 2, 2012

E-Vote= Environmentally Safer?

E-Vote= Environmentally Safer????

Tertarik dengan mekanisme pemilihan umum mahasiswa yang baru, yaitu e-vote. Sistem e-vote ini sebenarnya telah diperkenalkan dan dicoba di beberapa fakultas sejak satu atau dua tahun yang lalu, namun baru tahun ini e-vote digelar se-UI, termasuk di fakultas teknik. Menarik mendengar argumen – argumen yang menyertai sistem baru ini, seperti ‘pemungutan suara bakal lebih efisien’, ‘jumlah suara yang memilih akan bertambah’, ‘menjadi insentif sendiri bagi mahasiswa untuk mencoba voting melalui e-vote’, dan argument yang tidak kalah canggih adalah ‘ini berkaitan dengan isu global warming, dibanding menggunakan kertas yang berarti penebangan pohon??’.

Dalam kesempatan kali ini, saya akan memertanyakan argument terakhir di atas, apakah benar e-vote lebih ramah lingkungan? Bukankah e-vote berarti menggunakan listrik? Bukankan listrik berasal dari batubara, yang pembakarannya juga menghasilkan gas rumah kaca (salah satunya karbon dioksida)? Untuk itu saya akan menelaah argument ramah lingkungan ini dengan parameter karbondioksida (yang dilepas saat pembakaran batubara, dan yang diserap oleh pohon).

Oh iya, studi kasus saya kali ini hanya mencakup fakultas teknik, dengan asumsi jumlah pemilih adalah 3500 mahasiswa (FYI, jumlah suara dari fakultas teknik yang masuk tahun 2011 silam sekitar 2400 suara).

E-VOTE

Mekanisme e-vote adalah sbb:
1. Ada dua laptop yang tersedia, satu untuk server/panitia, satu untuk pemilih.
2. Pemilih menghampiri laptop server yang ada panitianya, meminta TOKEN untuk memilih.
3. Pemilih diberi TOKEN (missal: ABCD1234)
4. Pemilih menuju laptop untuk e-vote
5. Pemilih memasukkan TOKEN, beserta username dan password SIAK NG
6. Pemilih melakukan voting dengan mengklik calon – calon bersangkutan.

Cttn: pemungutan suara dilakukan di departemen masing-masing, ada 7 departemen + 1 program internasional

  • ·         INTINYA: digunakan dua X delapan (departemen+PI)= 16 laptop
  • ·         Daya charger laptop: bervariasi antara 40 hingga 120 watt, saya mengambil asumsi rata – rata 75 watt
  • ·         Lama waktu laptop menyala: empat hari, lima jam per hari (asumsi)
  • ·         Total daya yang digunakan = jumlah laptop X daya laptop X jumlah hari X jumlah jam per hari = 16 X 75 X 4 X 5= 24000 watt-hour = 24 kWh
  • ·         Setiap 1 megawatthour yang dihasilkan oleh PLTU (dengan bahan bakar batubara) akan menghasilkan 755-990 kg karbondioksida (ambil tengahnya: 872,5kg). 1 MWh=1000 kWh, berarti 1 kWh menghasilkan 0,87 kg karbondioksida.
  • ·         Emisi total karbondioksida= 24 x 0,87= 20,88 kg!!!!

Sekarang mari kita bandingkan dengan pemilihan menggunakan kertas, tentunya dengan berbagai macam asumsi, yakni:
1. Setiap mahasiswa akan menggunakan kertas sebanyak setengah halaman A4 (untuk memilih calon ketua IM, MPM fraksi departemen, ketua BEM FT, ketua BEM UI serta calon DPM UI)
2. Jumlah mahasiswa yang memilih adalah 3500 mahasiswa, sehingga diperlukan 1750 kertas A4.

Lalu kita mulai proses penghitungan

  • ·         Salah satu pohon yang paling sering digunakan sebagai bahan pembuat kertas adalah pohon pinus.
  • ·         Setiap satu pohon pinus dapat menghasilkan sekitar 80.000 lembar kertas A4.
  • ·         Berarti untuk 1750 lembar membutuhkan 1750/80000= 0,02 pohon pinus
  • ·         Nilai absorbsi karbon dioksida rata – rata pohon pinus adalah 20,1 ton/hektar.
  • ·         Setiap hektar terdiri dari sekitar 200 pohon pinus, berarti setiap pohon pinus mengandung 100,5 kg karbondioksida.
  • ·         Jumlah karbondioksida yang tidak terserap karena pemakaian 1750 lembar A4 adalah: 0,02 X 100,5 = 2,01 kg!!!!
(sumber data= Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB tahun 2003)

KESIMPULAN
Penggunaan sistem e-vote akan menyebabkan emisi karbondioksida sebesar 20,88 kg sedangkan penggunaan kertas akan menyebabkan 2,01 kg karbondioksida tidak terserap.

INTINYA
Sistem e-vote => menambah jumlah CO2 di dunia sebanyak 20,88 kg
Penggunaan kertas => menambah jumlah CO2 di dunia sebanyak 2,01 kg

Kajian di atas belum termasuk gas – gas lain yang tidak ramah lingkungan selain karbondioksida yang dihasilkan saat pemrosesan batubara menjadi listrik, dan belum juga menghitung kerugian lingkungan akibat penggunaan tinta untuk kertas. Namun secara kasat mata dapat kita lihat bahwa gas-gas lain ini jauh lebih berbahaya dibanding efek penggunaan tinta untuk kertas.


So, which one is environmentally safer? :)


Kajian di atas adalah kajian singkat, yang mungkin masih terdapat kesalahan dalam perhitungan atau pengasumsian. Jika ada yang mendapati kesalahan, silahkan dicari dan dihitung sendiri lagi, saya sangat menerima kritikan dan masukan :)

Selasa, 27 November 2012

Saturday, November 24, 2012

Idealisme Mahasiswa?

Bismillahirrahmanirrahim.
Postingan pertama di blog ini, semoga bisa menjadi awal yang bagus bagi tempat mencurahkan pikiran ini ^^

Saya cukup tertarik dengan pernyataan Bang Daus TI'06 (Ketua BEM FTUI 2009) saat ditanya apa sih idealisme mahasiswa itu? "Jawabannya, simpel, katakan hitam adalah hitam, katakan putih adalah putih. Tiada kata jera dalam perjuangan." Setelah setahun mengemban amanah menjadi mahasiswa, saya baru sadar esensi dari idealisme titel saya tersebut.

Kalau memang dua kalimat tersebut adalah makna dari idealisme mahasiswa, maka saya yakin hampir tidak ada mahasiswa yang ideal. Ya, hampir tidak ada. Mahasiswa mana yang tidak senang ketika dosennya memberi nilai 'gaib' yang bagus? Mahasiswa mana yang tidak senang ketika mendapat beasiswa, padahal masih ada yang lebih kurang mampu yang membutuhkan? Lalu di mana letak 'katakan hitam adalah hitam katakan putih adalah putih'?


Terlebih lagi slogan di atas, 'tiada kata jera dalam perjuangan'. Sebuah slogan yang muncul pada akhir tahun 1970a, saat ketua DM - DM (Dewan Mahasiswa, BEM pada masa itu) perguruan tinggi ternama di Indonesia ditawan pemerintah. Makna 'perjuangan' di atas jelas berarti perjuangan melawan ketidakadilan, perjuangan melawan bromocorah - bromocorah birokrat, dan sejenisnya. Semakin hari, semakin sedikit yang peduli dengan slogan ini.

Pada dasarnya mahasiswa adalah manusia, manusia memiliki ego. Ego untuk hidup dalam comfort zone. Dan tidak semua comfort zone itu adalah putih. Bahkan banyak mahasiswa yang sudah merasa berada dalam comfort zone sejak awal, sehingga kata 'perjuangan' pun kehilangan makna baginya.

Sungguh ironi, seiring berjalannya waktu, idealisme ini semakin terkikis. Idealisme yang sejak awal tidak ada secara utuh, terkikis menjadi menuju ketiadaan.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

intermezo
 kalau dipikir-pikir, konsep soft loan pada statuta UI itu ada benarnya juga. Karena kalau mahasiswa kuliah dibiayai pemerintah, apakah ada jaminan saat keluar kuliah nanti ia akan mengabdi bagi negara? Atau setelah lulus ia hanya mengejar comfort zone bagi dirinya sendiri?


Sabtu, 24 November 2012 pukul 20:31 WIB