Saturday, July 25, 2015

REFLEKSI TUGAS AKHIR S1 (Bagian Pertama)

Hello world! Kali ini saya mau curhat sedikit tentang insight – insight yang saya dapatkan selama mengerjakan tugas akhir (skripsi) di program sarjana Teknik Industri UI. Singkat kata, skripsi saya berjudul ‘Evaluasi Kebijakan Transisi Kendaraan BBM ke BBG dengan Menggunakan Permodelan Berbasis Agen (Studi Kasus DKI Jakarta)’. Ya, judul yang cukup panjang menurut saya buat sebuah skripsi! Tapi tenang, sebenarnya skripsinya gak seberat judulnya. Halaman skripsi saya hanya 61 halaman!

Sedikit cerita tentang latar belakang tema yang saya angkat, believe it or not, jumlah kendaraan roda empat alias mobil di DKI Jakarta berjumlah hingga 25% dari seluruh jumlah mobil yang ada di Indonesia! Bisa kita bayangkan kenapa jalanan di Jakarta sering banget macet. Tapi bukan itu yang saya angkat, melainkan potensi dibalik angka tersebut. Seperti yang kita tahu, transportasi darat Indonesia sudah sangat amat amat amat bergantung dengan bahan bakar minyak yang notabenenya tidak baik (polusi cukup berbahaya, disubsidi pula). Di sisi lain pemanfaatan gas bumi (yang sekitar 48% produksi lokal kita malah diekspor alih – alih dimanfaatkan untuk kepentingan domestik) sebagai bahan bakar kendaraan masih sangat minim. Oleh karena itu DKI Jakarta dapat menjadi potensi besar untuk melakukan transisi kendaraan bahan bakar minyak (BBM) menuju bahan bakar gas (BBG). Jika transisi berhasil dilakukan di Jakarta maka besar kemungkinan akan terjadi efek domino ke daerah – daerah lain di Indonesia!

Oke, itu sedikit latar belakang skripsi saya. Lanjut ke rumusan permasalahan……

Masalahnya, transisi itu gak gampang! Banyak negara yang berhasil menyukseskan transisi kendaraan menuju bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, namun lebih banyak negara yang belum berhasil melaksanakan transisi tersebut. Diperlukan kebijakan yang komprehensif agar transisi kendaraan dapat berhasil. Dan itulah yang saya lakukan! Menganalisa tiga opsi kebijakan transisi kendaraan BBM ke BBG (pemberian converter kit gratis, pendirian SPBG, dan pemberian subsidi pada pembelian converter kit) dengan menggunakan pendekatan permodelan berbasis agen.

Refleksi #1 : Dilema dalam menentukan kebijakan
Pengambilan keputusan (bahasa kerennya: decision making) itu gak simple! Sederhananya kita pasti pernah (bahkan mungkin setiap hari) dihadapi dengan pengambilan keputusan: nanti ketemu teman di blok m naik apa, nanti siang makan siang pake apa, nanti malam tidur sama istri yang mana (eh!). Misal anda mau ke blok m dari depok, ada berbagai opsi: 1) naik motor, 2) naik bis depok-blok m, 3) naik kereta ke sudirman, sambung kopaja ke blok m. Tentu anda akan berpikir kalau naik motor gampang, cepat, tapi capek dan gak nyaman. Kalau naik bis malah lebih murah (Cuma 4000 udah sampe blok m coy!), tapi panas dan sumpek (kopaja blok m – depok sering banget penuh dan sumpek abis). Kalau naik kereta sambung kopaja agak mahal, tapi lebih cepat dari naik bis depok-blok m dan jauh lebih nyaman. Hasilnya: dilema!

And that’s one of the first steps policy analysts do: deciding and making explicit the criteria! Dilema terjadi karena ada keunggulan dan kelemahan (bahasa kerennya: tradeoff) dari setiap alternatif. Masalahnya, seringkali kita memikirkan tradeoff tersebut secara abstrak seperti yang dijelaskan di paragraf sebelumnya. Tradeoff yang abstrak tersebut menyebabkan pengambilan keputusan kita tidak optimal sehingga keputusan yang kita ambilpun mungkin bukan yang terbaik. Tradeoff yang abstrak tersebut harus diubah ke dalam kriteria – kriteria yang jelas. Dalam kasus di atas misalnya, maka kriterianya adalah: 1) ongkos, 2) waktu, 3) kenyamanan. Baru deh setiap alternatif dinilai berdasarkan tiga kriteria tersebut. Dan yang paling penting: make it explicit! Gampangnya, bikin dalam tabel, barisnya itu alternatif A, B, C dan kolomnya adalah kriteria ongkos, waktu, dan kenyamanan.  Tinggal dinilai deh setiap alternatif berdasarkan kriteria – kriteria tersebut.

Yes, making explicit matters a lot! Otak kita tidak bisa memproses banyak informasi secara simultan, sehingga keputusan yang diambil jika alternatif hanya dipikirkan secara abstrak tidak akan seoptimal keputusan jika dibuat secara eksplisit dalam tabel. Contoh seperti kasus di atas, jika kita menilai alternatif dengan tidak eksplisit, kita lupa menilai alternatif naik motor dari segi biaya. Kita hanya membandingkan aspek waktu dari naik bis (opsi kedua) dan naik kereta-sambung kopaja (opsi ketiga), tidak membandingkannya dengan opsi pertama (naik motor). Perbandingan tingkat kenyamanan untuk setiap opsinya pun tidak jelas, tidak dengan standar yang sama antara satu opsi dengan opsi lainnya. Alhasil proses penentuan kebijakan kita menjadi tidak efektif dan efisien.

Hal tersebut juga yang sering saya alami selama 3-4 tahun berorganisasi di kampus. Seringkali saat ingin membuat keputusan, diskusi terjadi sangat panjang lebar karena tradeoff antar alternatif keputusan hanya dibicarakan (alias didiskusikannya secara abstrak) alih – alih membuatnya eksplisit (dalam tabel, misalnya). Seringkali pendapat yang diterima dan diaminin adalah pendapat yang diucapkan oleh orang terakhir dalam suatu diskusi, sedangkan pendapat – pendapat sebelumnya akhirnya diacuhkan. Alhasil banyak pendapat – pendapat cemerlang yang tidak mendapat perhatian secara imbang dengan pendapat – pendapat lainnya.

Dalam konteks penelitian saya, penentuan kebijakan transisi kendaraan BBM ke BBG ditentukan berdasarkan aspek transisi (berapa jumlah kendaraan yang terkonversi dan bagaimana pola konversinya?), aspek keberlangsungan bisnis SPBG (apakah setiap SPBG memiliki pangsa pasar yang cukup untuk mempertahankan profitabilitasnya?), serta aspek ekonomi (apakah pemerintah mengalami keuntungan secara finansial akibat kebijakan yang dilaksanakan?). Setiap alternatif kebijakan memiliki output yang unggul pada salah satu aspek kriteria di atas, sehingga kebijakan dapat dipilih berdasarkan proposisi nilai yang dianggap paling penting dengan tidak melupakan aspek – aspek kriteria yang lain.

Melakukan skripsi di bidang yang menyentuh analisis kebijakan membuka mata saya bahwa penentuan kebijakan yang dilakukan pemerintah itu dipenuhi dilema. Tak heran bahwa beberapa kebijakan membutuhkan kajian yang lebih mendalam dan lebih lama akibat kompleksitas dilema tersebut. Ironinya, sebagian kebijakan tidak melalui proses pengambilan keputusan yang cukup komprehensif (setidaknya seperti yang saya jelaskan di bagian ini). Masih terbuka room for improvement yang sangat lebar untuk membuat pengambilan keputusan di pemerintahan menjadi lebih efektif dan efisien.


Oke! Cukup sekian curhatan saya dalam edisi tulisan kali ini. Masih akan ada curhatan – curhatan skripsi lainnya di postingan yang berbeda, so stay tuned!