Sunday, December 21, 2014

STOP Klakson!

STOP Klakson!

Sore ini ketika saya sedang mengemudi sepeda motor di ruas jalan Margonda, tepatnya di lampu merah Juanda arah dari Margo City, ada seorang pengendara sepeda motor lainnya yang kurang beruntung (sebut aja si A). Ketika lampu merah berubah menjadi hijau dan semua kendaraan jalan, motor si A yang berada di depan sebuah taksi tiba – tiba mogok dan tak bisa dinyalakan. Waktu saya melewati si A, si A sedang berusaha menyalakan motornya namun motor tak kunjung menyala. Taksi dibelakangnya pun mengklakson dengan sangat kencang, bertubi – tubi dan gak berhenti – henti. Klakson susulan dibunyikan oleh motor – motor dan mobil – mobil di belakangnya yang juga tidak dapat bergerak karena mogoknya motor si A ini.


Oke, sebelum bahas kasus si A, saya tertarik untuk membahas gambar reinforcing loop di atas dulu. Di jalanan yang macet (lampu merah salah satunya) sering banget kita temuin mobil – mobil dan motor – motor yang membunyikan klaksonnya karena tidak sabar. Padahal kalau kita nglakson di kondisi tersebut, suara klakson kita akan menambah emosi kumulatif semua pengemudi yang ada di jalan. Emosi kumulatif yang bertambah ini memicu kita dan pengendara/pengemudi lainnya buat nglakson juga, yang akhirnya jumlah klakson semakin banyak dan emosi kumulatif juga meningkat terus. Akhirnya, yang kita dapat adalah capek karena emosi mendengarkan klakson – klakson tersebut. Sadar ga sih mereka bahwa mereka sedang terjebak dalam reinforcing loop di atas?

Oke, mungkin sekarang orang sudah makin waras. Mereka tidak klakson karena ketidaksabaran mereka, tapi mereka nglakson karena ada perilaku salah satu pengemudi lainnya yang merugikan mereka. Contohnya, kayak si A yang tidak beruntung ini. Masih benarkah kalo mereka nglakson?




Diagram loop di atas menggambarkan ekspansi dari loop sebelumnya, di mana sekarang ditambah perilaku si A. pengemudi – pengemudi lainnya nglakson dengan harapan si A segera sadar untuk memperbaiki situasinya (dalam hal ini nyalain motornya), sehingga si A meningkatkan usahanya dan situasi yang tidak diinginkan (dalam hal ini mesin motor yang tiba – tiba mati padahal lampu sudah hijau) segera diselesaikan. Kalau ‘situasi yang tidak diinginkan’ sudah terselesaikan, maka jumlah klakson akan berkurang dan hilang (panah biru menunjukkan hubungan yang berbanding lurus, sedangkan panah merah menunjukkan hubungan berbanding terbalik).

Tapi sadarkah si pengemudi – pengemudi yang mengklakson ini, bahwa ada dampak lain akibat klakson yang terlalu banyak? Coba anda bayangkan kalau anda berada di posisi si A, dan tiba – tiba hujatan klakson datang bertubi – tubi. Anda pasti akan kaget dan menjadi panik, sehingga konsentrasi anda untuk memperbaiki situasi justru berkurang dan ‘situasi yang tidak diinginkan’ pun menjadi semakin lama terselesaikan. Jelas, karena orang yang berada dalam tekanan cenderung tidak dapat berpikir dengan lebih baik. Alhasil, justru klakson pertama akan mengundang klakson – klakson lainnya untuk berbunyi dan memperkeruh suasana.

Diagram loop di atas adalah diagram sederhana dari perilaku tipikal masyarakat Indonesia (atau mungkin cuma Depok dan Jakarta?). Masalahnya, saat semakin banyak orang berperilaku demikian, justru sebenarnya semakin memperparah suasana.

Andai kita sadar bahwa banyak tindakan kita yang justru memperkeruh suasana.

Andai kita sadar bahwa perilaku sederhana yang tidak baik akan menjadi masalah jika dilakukan oleh banyak orang.

Andai kita sadar bahwa sikap kita dapat mempengaruhi sikap orang lain juga.

Dunia ini bulat, begitu juga sistem di dalamnya.


Bramka Arga Jafino. 20 Desember 2014 pukul 21.18 WIB.

Sunday, December 14, 2014

'Sukses'nya Seorang Mahasiswa?

Sewaktu mahasiswa baru saya memiliki pertanyaan besar: ‘Apa sih suksesnya mahasiswa itu?’.

Latar belakang SMA saya adalah salah satu SMA Negeri unggulan di kota Depok. Karena SMA unggulan, otomatis parameter kesuksesan seluruh siswanya relatif sama: menang lomba, menang OSN, atau masuk PTN unggulan sesuai dengan jurusan yang diinginkan. Hal yang paling mudah disorot adalah masuk PTN unggulan. Saat kelas X, saya melihat kakak – kakak kelas saya yang diterima di UI, ITB, UGM, dll dan menurut saya mereka sangat keren. Hingga sampai saatnya saya menduduki bangku kelas XII, seluruh teman seangkatan saya pun memiliki pandangan yang sama bahwa sukses itu adalah saat kita berhasil masuk PTN unggulan.

Pandangan yang berbeda saya jumpai saat saya menjadi mahasiswa baru di UI, terutama pada masa Mabim dan pasca Mabim. Saya melihat senior saya ada yang langsung menjadi manajer saat lulus. Saya melihat senior saya ada yang menlanjutkan studi S2 di luar negeri. Saya melihat senior saya ada yang membuat usaha sendiri. Saya melihat senior saya ada yang bergerak di bidang pengabdian masyarakat. Saya melihat senior saya ada yang menang lomba ini itu. Saya melihat senior saya yang setiap hari kerjaannya di Kantek (re: Kantin Teknik) ngobrol, ketawa, main kartu dan nyanyi – nyanyi. Saya pun melihat senior saya ada yang sangat organisatoris – menduduki posisi – posisi penting di lembaga kemahasiswaan. Saya melihat senior saya ada yang suka nongkrong di lab, baik mengerjakan riset maupun main dota dsb. Apakah ada sebagian dari mereka yang tidak sukses? Atau seluruhnya sukses? Atau malah seluruhnya tidak ada yang sukses?

Premis saya saat akhir semester satu adalah: suksesnya mahasiswa itu, kamu yang definisikan sendiri! Setiap mahasiswa berhak menentukan suksesnya itu apa. Pada dasarnya ‘sukses’nya mahasiswa itu tidak seragam, tidak seperti siswa SMA atau SMP atau SD. Setiap mahasiswa memiliki passion-nya masing – masing dan mahasiswa akan sukses saat mereka telah membuat suatu pencapaian berdasarkan passion-nya sehingga suksesnya mahasiswa pun beragam. Sekiranya itu premis saya saat mahasiswa baru sehingga saya pun menentukan beberapa kriteria ‘sukses’ versi saya sendiri (Pesta, buku dan cinta. Namun akan saya bahas pada lain kesempatan hehe).

Sampai akhirnya saya menulis tulisan ini, di suatu hari minggu di penghujung semester 7 saya. Beberapa hari semenjak saya lengser dari amanah organisasi yang dititipkan, saya mengingat kembali premis saya saat maba dulu. Saya merefleksikan diri saya sendiri ‘apakah saya sudah sukses?’.

Namun kondisinya berbeda. Sekarang saya menemukan definisi ‘sukses’ yang lebih baik. Sukses bukan tentang prestasi. Sukses bukan tentang pencapaian. Sukses adalah ketika kita bahagia dan tidak menyesal atas waktu yang telah kita habiskan. Saya sukses jika tidak ada penyesalan akan 3,5 tahun yang telah saya habiskan untuk berbagai aktivitas. Sukses adalah suatu kondisi, suatu perasaan.

Hingga akhirnya, kembali saya merenung, ‘sudah sukseskah saya?’.


Bramka Arga Jafino. 14 Desember 2014 pukul 23.45 WIB.