Saturday, August 30, 2014

Renungan Penjual Tisu dan Masker

“”
Berjalan di bawah lorong pertokoan
Di Surabaya yang panas
Debu-debu ramai beterbangan
Di hempas oleh bis kota

Bis kota sudah miring ke kiri
Oleh sesaknya penumpang
Aku terjepit disela-sela
Ketiak para penumpang yang bergantungan

“”

Jreeeeeng…..jreng….jreeenng….

Kira kira begitu lagu yang dialunkan oleh sang pengamen, yang mengamen di tengah kerumunan orang – orang kepanasan akibat sesaknya bis kota. Lagu Bis Kota karangan Franky Sahilatua tentu masih relevan untuk kondisi bis kota saat ini yang tidak banyak membaik sejak lagu tersebut dikarang puluhan tahun yang lalu. Tapi aku rasa, ada satu yang membaik---kondisi pengamen bis kota tersebut!

Dua bulan aku pulang pergi ke Jakarta menggunakan bis kota, untuk kepentingan magang kuliahku. Dari sekian banyak fenomena, fenomena pengamen bis kota ini merupakan salah satu fenomena ironi yang aku temukan. Sebagian besar dari mereka adalah pemuda, mungkin seumuran dengan kita atau tidak jauh berbeda dari kita. Pemuda yang masih penuh harapan untuk menggores tinta masa depannya. Tetapi alih – alih memersiapkan tinta masa depannya, mereka memilih jalan instan dengan menjadi pengamen bis kota.

Aku awalnya adalah orang yang sangat enggan untuk tidak memberi uang kepada pengamen – pengamen seperti itu. Sampai akhirnya ada sesosok pekerjaan lain yang membuat aku ironi. Penjual tisu dan masker yang ada di hampir setiap terminal. Sebagian besar dari mereka memiliki profil yang bertolak belakang dengan pengamen bis kota. Jika sebagian besar pengamen bis kota adalah anak muda yang masih penuh dengan tanda tanya, sebagian besar penjual tisu dan masker adalah bapak – bapak atau ibu – ibu yang sudah hampir kehabisan tinta masa depan. Para penjual tisu dan masker adalah bapak – bapak dan ibu – ibu yang mungkin menggantungkan nasib keluarganya melalui helai demi helai tisu dan masker yang ia bawa.

Hal yang membuat aku semakin merasa ironi adalah pendapatan yang mereka dapat dari pekerjaannya. Taruhlah sebuah bis kota berpenumpang 40 orang. Dengan sekali mengamen, kita asumsikan ada 10 orang yang setidaknya memberi sumbangan 1000 rupiah. Dan kita asumsikan dalam satu jam terdapat 3 bis kota yang masuk ke terminal. Dengan kata lain, dalam satu jam pengamen dapat memperoleh penghasilan 10x1000x3 = 30 ribu rupiah. Jumlah pengamen umumnya 2 orang, sehingga setiap pengamen bisa mendapat 15 ribu rupiah dalam satu jam. Jika dikali 8 jam, tentu mereka sudah mendapat penghasilan yang cukup untuk menghidupi mereka.

Lantas bagaimana dengan penjual tisu dan masker? Sebungkus tisu dengan ukuran sedang hanya berharga 2000 rupiah. Sehelai masker berharga 1000 rupiah. Sedangkan dalam sebuah bis kota, belum tentu ada seorang pun yang ingin membeli tisu apalagi masker. Mungkin mereka juga bisa berjualan ke pengunjung terminal lain yang tidak menaiki bis kota, tetapi saya yakin jumlahnya pun tergolong sedikit. Apalagi jumlah penjual tisu dan masker lebih banyak dari jumlah pengamen bis kota, sehingga persaingan mereka untuk mendapat pelanggan pun lebih ketat. Bisa kita bayangkan, betapa kecilnya penghasial penjual tisu dan masker tersebut.

Hal tersebut mendorong aku untuk memprioritaskan membeli tisu, masker, atau barang dagangan lain yang dijual pedagang di bis kota alih – alih mengocek sakuku untuk memberi uang ke pengamen bis kota.

Yah, itu semua tentu didasari asumsi pengamatanku selama 2 bulan menggunakan bis kota pulang dan pergi magang. Tentu aku berharap pengamatan salah. Tentu aku berharap para penjual tisu dan masker mendapatkan penghasilan yang lebih besar dari hitungan asumtifku. Tentu aku berharap mereka memiliki sumber penghasilan lain selain menjual tisu dan masker. Tentu aku berharap mereka dapat menafkahi keluarga mereka dengan baik.



Ide muncul saat melihat banyaknya pedagang tisu dan masker yang bersikap santun ke pengguna bis kota. Melebihi santunnya pegawai hotel bintang 3. Ide diejawantahkan ke dalam tulisan di tengah kamar yang pengap.