“”
Berjalan di bawah
lorong pertokoan
Di Surabaya yang panas
Debu-debu ramai beterbangan
Di hempas oleh bis kota
Di Surabaya yang panas
Debu-debu ramai beterbangan
Di hempas oleh bis kota
Bis kota sudah miring
ke kiri
Oleh sesaknya penumpang
Aku terjepit disela-sela
Ketiak para penumpang yang bergantungan
Oleh sesaknya penumpang
Aku terjepit disela-sela
Ketiak para penumpang yang bergantungan
“”
Jreeeeeng…..jreng….jreeenng….
Kira kira begitu lagu yang
dialunkan oleh sang pengamen, yang mengamen di tengah kerumunan orang – orang kepanasan
akibat sesaknya bis kota. Lagu Bis Kota karangan Franky Sahilatua tentu masih
relevan untuk kondisi bis kota saat ini yang tidak banyak membaik sejak lagu
tersebut dikarang puluhan tahun yang lalu. Tapi aku rasa, ada satu yang
membaik---kondisi pengamen bis kota tersebut!
Dua bulan aku pulang pergi ke Jakarta
menggunakan bis kota, untuk kepentingan magang kuliahku. Dari sekian banyak
fenomena, fenomena pengamen bis kota ini merupakan salah satu fenomena ironi
yang aku temukan. Sebagian besar dari mereka adalah pemuda, mungkin seumuran
dengan kita atau tidak jauh berbeda dari kita. Pemuda yang masih penuh harapan
untuk menggores tinta masa depannya. Tetapi alih – alih memersiapkan tinta masa
depannya, mereka memilih jalan instan dengan
menjadi pengamen bis kota.
Aku awalnya adalah orang yang
sangat enggan untuk tidak memberi uang kepada pengamen – pengamen seperti itu. Sampai
akhirnya ada sesosok pekerjaan lain yang membuat aku ironi. Penjual tisu dan masker yang ada di
hampir setiap terminal. Sebagian besar dari mereka memiliki profil yang
bertolak belakang dengan pengamen bis kota. Jika sebagian besar pengamen bis
kota adalah anak muda yang masih penuh dengan tanda tanya, sebagian besar penjual
tisu dan masker adalah bapak – bapak atau ibu – ibu yang sudah hampir kehabisan
tinta masa depan. Para penjual tisu dan masker adalah bapak – bapak dan ibu –
ibu yang mungkin menggantungkan nasib keluarganya melalui helai demi helai tisu
dan masker yang ia bawa.
Hal yang membuat aku semakin
merasa ironi adalah pendapatan yang mereka dapat dari pekerjaannya. Taruhlah sebuah
bis kota berpenumpang 40 orang. Dengan sekali mengamen, kita asumsikan ada 10
orang yang setidaknya memberi sumbangan 1000 rupiah. Dan kita asumsikan dalam
satu jam terdapat 3 bis kota yang masuk ke terminal. Dengan kata lain, dalam
satu jam pengamen dapat memperoleh penghasilan 10x1000x3 = 30 ribu rupiah.
Jumlah pengamen umumnya 2 orang, sehingga setiap pengamen bisa mendapat 15 ribu
rupiah dalam satu jam. Jika dikali 8 jam, tentu mereka sudah mendapat
penghasilan yang cukup untuk menghidupi mereka.
Lantas bagaimana dengan penjual
tisu dan masker? Sebungkus tisu dengan ukuran sedang hanya berharga 2000
rupiah. Sehelai masker berharga 1000 rupiah. Sedangkan dalam sebuah bis kota,
belum tentu ada seorang pun yang ingin membeli tisu apalagi masker. Mungkin mereka
juga bisa berjualan ke pengunjung terminal lain yang tidak menaiki bis kota,
tetapi saya yakin jumlahnya pun tergolong sedikit. Apalagi jumlah penjual tisu
dan masker lebih banyak dari jumlah pengamen bis kota, sehingga persaingan
mereka untuk mendapat pelanggan pun lebih ketat. Bisa kita bayangkan, betapa
kecilnya penghasial penjual tisu dan masker tersebut.
Hal tersebut mendorong aku untuk
memprioritaskan membeli tisu, masker, atau barang dagangan lain yang dijual
pedagang di bis kota alih – alih mengocek sakuku untuk memberi uang ke pengamen
bis kota.
Yah, itu semua tentu didasari
asumsi pengamatanku selama 2 bulan menggunakan bis kota pulang dan pergi
magang. Tentu aku berharap pengamatan salah. Tentu aku berharap para penjual
tisu dan masker mendapatkan penghasilan yang lebih besar dari hitungan
asumtifku. Tentu aku berharap mereka memiliki sumber penghasilan lain selain
menjual tisu dan masker. Tentu aku berharap mereka dapat menafkahi keluarga
mereka dengan baik.
Ide muncul saat melihat banyaknya pedagang tisu dan masker yang
bersikap santun ke pengguna bis kota. Melebihi santunnya pegawai hotel bintang
3. Ide diejawantahkan ke dalam tulisan di tengah kamar yang pengap.