Sunday, July 21, 2013

Ksatria

Apa yang paling menyakitkan bagi seorang ksatria?
Tertusuk panah kah?
Kurasa bukan
Terhujam pedang?
Kurasa bukan juga
Terpotong tangannya?
Bukan, bukan juga...
Kalah di medan perang?
Ya, mungkin. Tapi kurasa bukan itu yang paling menyakitkan

Yang paling menyakitkan adalah..........
Ketika apa yang dibela ksatria tersebut, sebenarnya tidak ingin dibela...
Ketika apa yang dilindungi ksatria tersebut, sebenarnya tidak ingin dilindungi...
Ketika yang hal yang diperjuangkan oleh ksatria tersebut, ternyata tidak merasa diperjuangkan....

Justru sebaliknya, si ksatria ini dihujat. Dimusuhi. Oleh apa yang ia bela, oleh apa yang ia lindungi, oleh apa yang ia perjuangkan....

Malang sekali kalian, wahai para ksatria...
Semoga apa yang kau perjuangkan membuahkan hasil di masa yang akan datang.

#renunganbodoh
 

Friday, July 19, 2013

Norma Sosial dan Norma Pasar


Yah tidak terasa, sekarang sudah memasuki hari ke sepuluh puasa, yang berarti lebaran tinggal sekitar 20 hari lagi! Bayangkan jika anda sudah menikah, lalu anda sekeluarga pergi ke rumah mertua anda pada hari lebaran, anda disuguhi berbagai hidangan – jus, es buah, sirup, rendang, soto daging, opor ayam, ayam goreng, pepes ikan dan berbagai makanan lainnya. Anda pasti akan dengan sangat lahap memakan semuanya serta dalam kondisi yang sangat gembira. Lalu saat ingin pamit, anda berkata kepada ibu mertua anda: “Ma, terimakasih yaa untuk semua hidangannya. Saya sangaat kenyang dan makanannya sangaat enak. Jadi berapa yang harus saya bayar untuk semua yang udah saya santap hari ini? Apakah 300 ribu cukup? Atau 400 ribu? Ah, tampaknya 450 ribu sudah lebih dari cukup kan? Nih ma 450 ribu nya, terima kasih lagi ya makanannya” seraya anda menyerahkan uang sejumlah 450 ribu kepada ibu mertua anda. Apa yang akan terjadi???????? YA! Mungkin anda akan bercerai beberapa minggu kemudian karena telah berbuat tidak sopan kepada ibu mertua anda. Apakah layak makanan yang anda makan di rumah orang (apalagi rumah mertua sendiri) dibayar dengan uang?

Pertanyaannya adalah: mengapa seringkali kita ingin bekerja tanpa mengharapkan imbalan finansial (uang)? Ada sebuah riset yang dilakukan oleh professor di MIT tentang prilaku manusia terhadap imbalan uang. Dia meminta mahasiswa – mahasiswanya untuk mengklik kotak yang muncul pada layar komputer, jika sudah di klik maka kotak akan hilang dan muncul kotak lain di sisi lain layar komputer. Dia meminta mahasiswanya melakukan ini selama dua menit. Terdapat tiga kelompok mahasiswa: kelompok pertama terlebih dahulu diberi tahu bahwa ia akan dibayar sebesar 50 sen untuk riset ini, kelompok kedua akan dibayar 10 sen, sedangkan kelompok ketiga tidak dibayar sama sekali (alih – alih hanya ucapan terimakasih karena telah membantu eksperimen).

Apa yang terjadi? Sesuai yang diharapkan, kelompok pertama rata - rata mengklik lebih banyak kotak (159 kotak) dibanding kelompok kedua (110 kotak). Namun berapa rata – rata kotak yang diklik oleh kelompok ketiga? Ternyata kelompok ketiga mengklik rata – rata 168 kotak, wow! Mengapa bisa terjadi seperti ini???

Kedua kejadian di atas hanya contoh kecil dari berbagai hal yang membuktikan bahwa tidak selamanya manusia berorientasi kepada finansial. Faktanya, kita hidup di antara dua norma: ‘norma sosial’ dan ‘norma pasar’. Ketika kita menghadiri rumah mertua untuk lebaran, kita sedang berada pada ranah norma sosial sedangkan ketika kita sedang berbelanja di mall, kita berada pada ranah pasar. Jelas sekali norma pasar tidak akan berlaku sama sekali pada ranah norma sosial, begitu juga sebaliknya.

Sayangnya, tidak semua kegiatan yang kita lakukan mengandung ‘hanya’ norma sosial ataupun ‘hanya’ norma pasar. Seringkali kita berada pada kegiatan yang dapat mengandung kedua unsur tersebut. Contohnya adalah pada eksperimen yang dilakukan oleh professor tadi, mahasiswa sebagai objeknya dapat berada pada norma sosial, serta dapat pula berada pada norma pasar. Tinggal kita (dalam kasus tersebut, si professor MIT) merekayasa norma apa yang akan kita berlakukan pada sistem yang kita buat.

Lalu bagaimana, jika si kelompok ketiga mengetahui bahwa ada kelompok lain yang dibayar untuk melakukan eksperimen tersebut? Bagaimana jika saya berada pada kelompok ketiga, lalu ada teman saya yang ternyata adalah kelompok pertama yang memberitahu saya bahwa dia mendapat bayaran sebesar 50 sen untuk eksperimen tersebut? Apakah jumlah kotak yang saya klik selama dua menit akan lebih banyak dari kelompok pertama? Jawabannya jelas: tidak. Saat mengetahui bahwa ada orang lain yang dibayar untuk mengerjakan hal serupa sedangkan kita tidak dibayar, kita cenderung akan terdemotivasi untuk melakukan hal tersebut. Itulah yang terjadi pada aktifitas – aktifitas yang dapat mengandung norma sosial maupun norma pasar.

Kesimpulan yang dapat kita tarik adalah norma sosial dapat dengan mudah hilang karena adanya norma pasar. Tetapi tidak berlaku sebaliknya, norma pasar tidak dapat dihilangkan oleh norma sosial. Jika anda pemilik restaurant dan ada saudara anda yang makan di restaurant anda, apakah anda akan menggratiskan saudara tersebut? Mungkin ya untuk satu atau dua kali, tetapi tak akan selamanya, bukan? Lambat laun norma pasarlah yang terjadi, karena pada dasarnya restaurant memang tempat berlakunya norma pasar.

Hal yang dapat kita pelajari dari keberadaan kedua norma ini dalah kita harus dapat menempatkan diri kita dengan sesuai, apakah pada norma sosial atau norma pasar. Kita juga harus melestarikan norma sosial, karena norma sosial sangat sulit untuk tumbuh sedangkan norma pasar dapat tumbuh secara meroket. Hal tersebut juga menjawab kenapa seiring berjalannya waktu, manusia cenderung semakin individualistis serta materialistis: karena norma sosial yang ada di masyarakat memang semakin terkikis dengan norma pasar. Siapa yang tahu, kalau ternyata 100 tahun lagi cucu kita harus bayar jika ingin makan di rumah saudaranya saat lebaran?


Referensi:
Ariely, Dan. 2013. Irrational Consumer. Jakarta: Gramedia.
Logika pribadi.