Yah tidak terasa, sekarang sudah memasuki hari ke sepuluh puasa, yang
berarti lebaran tinggal sekitar 20 hari lagi! Bayangkan jika anda sudah
menikah, lalu anda sekeluarga pergi ke rumah mertua anda pada hari lebaran, anda
disuguhi berbagai hidangan – jus, es buah, sirup, rendang, soto daging, opor
ayam, ayam goreng, pepes ikan dan berbagai makanan lainnya. Anda pasti akan
dengan sangat lahap memakan semuanya serta dalam kondisi yang sangat gembira. Lalu
saat ingin pamit, anda berkata kepada ibu mertua anda: “Ma, terimakasih yaa
untuk semua hidangannya. Saya sangaat kenyang dan makanannya sangaat enak. Jadi
berapa yang harus saya bayar untuk semua yang udah saya santap hari ini? Apakah
300 ribu cukup? Atau 400 ribu? Ah, tampaknya 450 ribu sudah lebih dari cukup
kan? Nih ma 450 ribu nya, terima kasih lagi ya makanannya” seraya anda
menyerahkan uang sejumlah 450 ribu kepada ibu mertua anda. Apa yang akan
terjadi???????? YA! Mungkin anda akan bercerai beberapa minggu kemudian karena
telah berbuat tidak sopan kepada ibu mertua anda. Apakah layak makanan yang
anda makan di rumah orang (apalagi rumah mertua sendiri) dibayar dengan uang?
Pertanyaannya adalah: mengapa seringkali kita ingin bekerja tanpa
mengharapkan imbalan finansial (uang)? Ada sebuah riset yang dilakukan oleh professor
di MIT tentang prilaku manusia terhadap imbalan uang. Dia meminta mahasiswa –
mahasiswanya untuk mengklik kotak yang muncul pada layar komputer, jika sudah
di klik maka kotak akan hilang dan muncul kotak lain di sisi lain layar
komputer. Dia meminta mahasiswanya melakukan ini selama dua menit. Terdapat tiga
kelompok mahasiswa: kelompok pertama terlebih dahulu diberi tahu bahwa ia akan
dibayar sebesar 50 sen untuk riset ini, kelompok kedua akan dibayar 10 sen,
sedangkan kelompok ketiga tidak dibayar sama sekali (alih – alih hanya ucapan
terimakasih karena telah membantu eksperimen).
Apa yang terjadi? Sesuai yang diharapkan, kelompok pertama rata - rata
mengklik lebih banyak kotak (159 kotak) dibanding kelompok kedua (110 kotak).
Namun berapa rata – rata kotak yang diklik oleh kelompok ketiga? Ternyata kelompok
ketiga mengklik rata – rata 168 kotak, wow! Mengapa bisa terjadi seperti ini???
Kedua kejadian di atas hanya contoh kecil dari berbagai hal yang
membuktikan bahwa tidak selamanya manusia berorientasi kepada finansial.
Faktanya, kita hidup di antara dua norma: ‘norma sosial’ dan ‘norma
pasar’. Ketika kita menghadiri rumah mertua untuk lebaran, kita sedang
berada pada ranah norma sosial sedangkan ketika kita sedang berbelanja di mall,
kita berada pada ranah pasar. Jelas sekali norma pasar tidak akan berlaku sama
sekali pada ranah norma sosial, begitu juga sebaliknya.
Sayangnya, tidak semua kegiatan yang kita lakukan mengandung ‘hanya’
norma sosial ataupun ‘hanya’ norma pasar. Seringkali kita berada pada kegiatan
yang dapat mengandung kedua unsur tersebut. Contohnya adalah pada eksperimen
yang dilakukan oleh professor tadi, mahasiswa sebagai objeknya dapat berada
pada norma sosial, serta dapat pula berada pada norma pasar. Tinggal kita
(dalam kasus tersebut, si professor MIT) merekayasa norma apa yang akan kita
berlakukan pada sistem yang kita buat.
Lalu bagaimana, jika si kelompok ketiga mengetahui bahwa ada kelompok
lain yang dibayar untuk melakukan eksperimen tersebut? Bagaimana jika saya
berada pada kelompok ketiga, lalu ada teman saya yang ternyata adalah kelompok
pertama yang memberitahu saya bahwa dia mendapat bayaran sebesar 50 sen untuk
eksperimen tersebut? Apakah jumlah kotak yang saya klik selama dua menit akan
lebih banyak dari kelompok pertama? Jawabannya jelas: tidak. Saat mengetahui bahwa ada orang lain yang dibayar untuk
mengerjakan hal serupa sedangkan kita tidak dibayar, kita cenderung akan
terdemotivasi untuk melakukan hal tersebut. Itulah yang terjadi pada aktifitas –
aktifitas yang dapat mengandung norma sosial maupun norma pasar.
Kesimpulan yang dapat kita tarik adalah norma sosial dapat dengan mudah
hilang karena adanya norma pasar. Tetapi tidak berlaku sebaliknya, norma pasar
tidak dapat dihilangkan oleh norma sosial. Jika anda pemilik restaurant dan ada
saudara anda yang makan di restaurant anda, apakah anda akan menggratiskan
saudara tersebut? Mungkin ya untuk satu atau dua kali, tetapi tak akan
selamanya, bukan? Lambat laun norma pasarlah yang terjadi, karena pada dasarnya
restaurant memang tempat berlakunya norma pasar.
Hal yang dapat kita pelajari dari keberadaan kedua norma ini dalah kita
harus dapat menempatkan diri kita dengan sesuai, apakah pada norma sosial atau
norma pasar. Kita juga harus melestarikan norma sosial, karena norma sosial
sangat sulit untuk tumbuh sedangkan norma pasar dapat tumbuh secara meroket.
Hal tersebut juga menjawab kenapa seiring berjalannya waktu, manusia cenderung
semakin individualistis serta materialistis: karena norma sosial yang ada di
masyarakat memang semakin terkikis dengan norma pasar. Siapa yang tahu, kalau
ternyata 100 tahun lagi cucu kita harus bayar jika ingin makan di rumah
saudaranya saat lebaran?
Referensi:
Ariely, Dan. 2013. Irrational
Consumer. Jakarta: Gramedia.
Logika pribadi.