Tiba – tiba teringat dengan suatu perdebatan yang pernah saya alami pada
suatu grup di Facebook sekitar 1 tahunan yang lalu. Perdebatan sederhana
sebenarnya, dan perdebatan yang mungkin sering kita temui sehari – hari sampai –
sampai terkadang kita ‘take it for
granted’. Permasalahannya adalah: untuk
menciptakan Indonesia yang lebih baik, harus sistemnya dulu yang diperbaiki tau
orang – orang (subjek) nya dulu yang diperbaiki?
Sebagai seorang maba yang masih polos pada saat itu, entah kenapa
intuisi dan logika praktis saya memilih bahwa sistem dulu lah yang harus
diperbaiki. Karena dengan sistem yang baik maka kan terbentuk orang – orang yang
baik. Ya, logika saya sesederhana itu. Namun banyak yang mendebat ‘bagaimana mungkin terbentuk sistem yang baik
kalau orang – orang yang merumuskan sistemnya bukan orang – orang yang baik?’.
Nah lho loh.
Perdebatan pun berlanjut dan berputar – putar. Saya dan beberapa orang
lain bersikukuh bahwa sistem dulu yang harus diperbaiki. Sementara beberapa
orang lainnya bersikeras tak mungkin ada sistem yang baik tanpa orang yang
baik, sistem yang tercipta pasti akan menjadi sistem yang busuk juga. Berputar –
putar dan terus berputar. Sampai akhirnya ada yang bilang ‘kalau gitu sama aja
kayak ayam dan telur dong (maksudnya duluan ayam atau telur gitu, kan ga bisa
dijawab secara logika ilmiah)’. Alhasil saya pun malas untuk menlanjutkan perdebatan.
Sampai akhirnya pagi hari tadi saya membaca buku Thinking in Systems karangan Donella H. Meadows dan saya menemukan
analogi tentang ‘setiap hal itu sistem
dan setiap sistem memiliki perilakunya masing – masing’. Analoginya adalah
sebagai berikut:
Pernahkah anda bermain slinky?
Emang di Indonesia agak jarang sih, tapi kalau yang pernah nonton Toys Story
pasti tau Slinky Dog kan? Ya! Slinky itu mainan per pada slinky dog tersebut.
Hanya saja slinky itu per nya saja, tanpa kepala dan badan anjingnya. Jika
salah satu ujung slinky saya tahan dengan salah satu tangan menghadap ke bawah
dan ujung bawahnya saya tahan juga dengan tangan saya yang satunya lagi, lalu
tangan saya yang menahan bagian bawah slinky saya lepas tentu slinky akan bergerak
– gerak ke atas ke bawah layaknya sebuah yo-yo. Apa yang menyebabkan gerakan
tersebut? Spontan kita terbiasa menjawab ‘karena anda melepas tangan bawah anda
sehingga slinky nya gelayutan’.
Lalu saya mengganti objek, tidak lagi slinky, namun sebuah kotak kaku. Saya
berikan perlakuan yang sama, saya lepas tangan yang menahan bagian bawah kotak
tersebut. Apakah kontak tersebut kemudian bergerak ke atas ke bawah layaknya
slinky? Tidak, kan? Lalu apa yang menyebabkan slinky bergerak ke atas ke bawah?
Jawabannya bukan karena saya melepas tangan saya, namun karena sifat dari slinky itu sendiri. Slinky hanya sebuah sistem yang
sangat sederhana dengan suatu sifat yang unik, saat sifat tersebut
diganggu/diberi perlakuan (dalam hal ini saya lepas tangan yang menahan bagian
bawah slinky tersebut) maka sistem slinky akan merespon perlakuan tersebut
sesuai dengan sifat sistem itu sendiri: elastis.
Setiap sistem memiliki sifatnya, dan sifat tersebut lah yang kita
rasakan dan kita lihat. Kita terbiasa melihat suatu masalah dari sudut pandang
subjek masalah tersebut, tidak dari objek masalah tersebut (subjek ya
gangguan/perilaku dari luar, dalam hal ini tangan saya sedangkan objek adalah
sistem itu sendiri, yaitu slinky). Ketika ada masalah, yang pertama kita
salahkan cenderung langsung subjek masalahnya. Ya, kebiasaan ini lah yang
secara tidak sengaja tertanam di benak kita dan mengendap menjadi framework
berpikir kita. Setelah membaca analogi di atas, saya jadi mengerti kenapa
systems thinker dan systems modeler selalu berpesan: jangan pernah menyalahkan orang, salahkan sistemnya!
Begitu juga dengan kasus Indonesia yang lebih baik. Tentu sekarang kita
sudah sepaham akan jawabannya. Orang adalah subjek, sedangkan sistem adalah
objek. Jadi sudah jelas kan apa yang harus diperbaiki terlebih dahulu :)
Source gambar: ceritaabunawas.blogdetik.com