Saturday, June 29, 2013

Sistem Dulu atau Orang Dulu?


Tiba – tiba teringat dengan suatu perdebatan yang pernah saya alami pada suatu grup di Facebook sekitar 1 tahunan yang lalu. Perdebatan sederhana sebenarnya, dan perdebatan yang mungkin sering kita temui sehari – hari sampai – sampai terkadang kita ‘take it for granted’. Permasalahannya adalah: untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik, harus sistemnya dulu yang diperbaiki tau orang – orang (subjek) nya dulu yang diperbaiki?

Sebagai seorang maba yang masih polos pada saat itu, entah kenapa intuisi dan logika praktis saya memilih bahwa sistem dulu lah yang harus diperbaiki. Karena dengan sistem yang baik maka kan terbentuk orang – orang yang baik. Ya, logika saya sesederhana itu. Namun banyak yang mendebat ‘bagaimana mungkin terbentuk sistem yang baik kalau orang – orang yang merumuskan sistemnya bukan orang – orang yang baik?’. Nah lho loh.

Perdebatan pun berlanjut dan berputar – putar. Saya dan beberapa orang lain bersikukuh bahwa sistem dulu yang harus diperbaiki. Sementara beberapa orang lainnya bersikeras tak mungkin ada sistem yang baik tanpa orang yang baik, sistem yang tercipta pasti akan menjadi sistem yang busuk juga. Berputar – putar dan terus berputar. Sampai akhirnya ada yang bilang ‘kalau gitu sama aja kayak ayam dan telur dong (maksudnya duluan ayam atau telur gitu, kan ga bisa dijawab secara logika ilmiah)’. Alhasil saya pun malas untuk menlanjutkan perdebatan.

Sampai akhirnya pagi hari tadi saya membaca buku Thinking in Systems karangan Donella H. Meadows dan saya menemukan analogi tentang ‘setiap hal itu sistem dan setiap sistem memiliki perilakunya masing – masing’. Analoginya adalah sebagai berikut:

Pernahkah anda bermain slinky? Emang di Indonesia agak jarang sih, tapi kalau yang pernah nonton Toys Story pasti tau Slinky Dog kan? Ya! Slinky itu mainan per pada slinky dog tersebut. Hanya saja slinky itu per nya saja, tanpa kepala dan badan anjingnya. Jika salah satu ujung slinky saya tahan dengan salah satu tangan menghadap ke bawah dan ujung bawahnya saya tahan juga dengan tangan saya yang satunya lagi, lalu tangan saya yang menahan bagian bawah slinky saya lepas tentu slinky akan bergerak – gerak ke atas ke bawah layaknya sebuah yo-yo. Apa yang menyebabkan gerakan tersebut? Spontan kita terbiasa menjawab ‘karena anda melepas tangan bawah anda sehingga slinky nya gelayutan’.

Lalu saya mengganti objek, tidak lagi slinky, namun sebuah kotak kaku. Saya berikan perlakuan yang sama, saya lepas tangan yang menahan bagian bawah kotak tersebut. Apakah kontak tersebut kemudian bergerak ke atas ke bawah layaknya slinky? Tidak, kan? Lalu apa yang menyebabkan slinky bergerak ke atas ke bawah? Jawabannya bukan karena saya melepas tangan saya, namun karena sifat dari slinky itu sendiri. Slinky hanya sebuah sistem yang sangat sederhana dengan suatu sifat yang unik, saat sifat tersebut diganggu/diberi perlakuan (dalam hal ini saya lepas tangan yang menahan bagian bawah slinky tersebut) maka sistem slinky akan merespon perlakuan tersebut sesuai dengan sifat sistem itu sendiri: elastis.

Setiap sistem memiliki sifatnya, dan sifat tersebut lah yang kita rasakan dan kita lihat. Kita terbiasa melihat suatu masalah dari sudut pandang subjek masalah tersebut, tidak dari objek masalah tersebut (subjek ya gangguan/perilaku dari luar, dalam hal ini tangan saya sedangkan objek adalah sistem itu sendiri, yaitu slinky). Ketika ada masalah, yang pertama kita salahkan cenderung langsung subjek masalahnya. Ya, kebiasaan ini lah yang secara tidak sengaja tertanam di benak kita dan mengendap menjadi framework berpikir kita. Setelah membaca analogi di atas, saya jadi mengerti kenapa systems thinker dan systems modeler selalu berpesan: jangan pernah menyalahkan orang, salahkan sistemnya!

Begitu juga dengan kasus Indonesia yang lebih baik. Tentu sekarang kita sudah sepaham akan jawabannya. Orang adalah subjek, sedangkan sistem adalah objek. Jadi sudah jelas kan apa yang harus diperbaiki terlebih dahulu :)



Source gambar: ceritaabunawas.blogdetik.com

Sunday, June 16, 2013

Akan Seperti Apakah Mahasiswa Kini, 20 Hingga 30 Tahun Mendatang?

Pada dasarnya, setiap mahasiswa sejak menginjakkan kaki di kampus memiliki berbagai pilihan 'zona tidak nyaman'. Pada titik tersebut mahasiswa dihadapkan oleh dua pilihan, apakah akan melangkah ke zona tidak nyaman, atau memilih untuk tidak memasuki zona tersebut. Yang saya maksud dengan 'zona tidak nyaman' adalah berbagai aktifitas yang ada baik intrakampus maupun ekstrakampus, karena aktifitas - aktifitas tersebut cenderung mengurangi waktu luang kita. Pilihan yang mana yang dipilih seorang mahasiswa tentu bergantung pada pengalaman empiris, cita - cita masa depan serta sosok kebenaran yang ia lihat di kampus.

Kita mengerucut pada pilihan pertama: memasuki zona tidak nyaman. Pasca reformasi, pilihan zona tidak nyaman semakin banyak.Umumnya zona tidak nyaman ini terbagi menjadi dua yakni intra kampus serta ekstra kampus. Nah pasca reformasi ini, pilihan zona tidak nyaman semakin banyak. Intra kampus maupun ekstra kampus semakin terdiversifikasi. Kalau dulunya hanya mengurus ospek maba dan mengadakan lomba dalam kampus, sekarang mulai mengurusi lomba, seminar, konferensi tingkat nasional bahkan internasional. Kalau dulu gerakan hanya mengkritisi perpolitikan Indonesia, kini bermunculan gerakan - gerakan social movement dengan konsep yang beraneka ragam.

Kita mengerucut lagi pada pergerakan mahasiswa ke luar kampus (yang saya maksud adalah ke masyarakat). Kita pasti sama - sama setuju kalau gerakan sosial politik mahasiswa telah terdiversifikasi, dari gerakan turun ke jalan menjadi gerakan - gerakan sosial yang berdampak langsung terhadap masyarakat. Saya jadi bertanya, dengan pembentukan karakter mahasiswa terhadap Indonesia yang seperti ini (dari turun ke jalan mulai beralih ke gerakan sosial), seperti apa karakter mahasiswa nantinya saat kita lulus dari kampus?

Pertanyaan itu muncul karena tiga kisah. Yang pertama adalah cerita tentang mantan aktivis UI angkatan '90 yang kini tidak bersikap selayaknya aktivis lagi - malah menjadi kapitalis dan memikirkan diri sendiri (cerita ini saya dapat dari temannya ayah saya). Kedua adalah setelah berbicara dengan salah satu dosen saya, yang mengatakan bahwa departemen teknik mesin angkatan dia dulu (angkatan 82) hingga kini tidak ada satupun yang bekerja di pemerintahan karena trauma dengan pemerintah itu sendiri. Ketiga adalah adanya pandangan sinis mahasiswa yang memilih untuk bergerak dengan turun ke jalan terhadap mahasiswa yang bergerak melalui social movement community, begitu juga sebaliknya.

Kalau dulu mahasiswa dididik untuk cinta terhadap Indonesia dengan cara turun ke jalan, menghasilkan orang - orang dewasa yang saat ini kita temui, maka bagaimana mahasiswa kini (yang sebagian dididik dengan cara turun ke jalan, sebagian lainnya dididik melalui social movement) saat 20 - 30 tahun mendatang? Apakah akan sama seperti saat ini?Atau keduanya dapat terintegrasi dengan baik sehingga menghasilkan Indonesia yang lebih sejahtera? Atau justru mereka akan menjadi dua kubu berbeda yang semakin alot pertentangannya?

Karena bagi saya, inti dari pergerakan mahasiswa bukan hanya menciptakan perubahan secara spontan. Tetapi juga memupuk nasionalisme dalam diri sendiri agar berkontribusi untuk Indonesia yang lebih baik setelah menjadi sarjana nantinya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

referensi gambar: maedastudio.com 

Aku Manusia!

Jadi ceritanya pas jaman – jamannya OKK UI 2012 tahun lalu (sekitar bulan juli-agustus kalo gasalah) gua sempet sinis sama BEM UI dan panitia OKK nya. Bukan karena mereka labil pas mau ngajak maba buat demo abis OKK! Bukan, bukan itu yang gua sinisin. Tapi tema dari OKK 2012 itu sendiri: “Aku Manusia”. Gila men! Gua sempet mikir, ‘ini maba 2012 pada binatang kali ya, atau tumbuhan, sampe sampe harus disadarin kalo “Aku Manusia”.’ Jauh banget levelnya sama OKK 2011 yang temanya “Peduli Indonesia”. Patriotik banget ga tuh? (harusnya) sih patriotik. Lah kenapa di OKK 2012 jadi tema kayak buat binatang gitu? Sempet gua bingung sendiri tuh sama BEM UI dan panitia OKK. Kok turun jauh banget temanya.

Sampe akhirnya makin kesini gua makin merenung. Yah ini berkat ngobrol – ngobrol dengan dosen - dosen, senior – senior dan lain lain juga sih, bukan murni renungan gua. Ternyata tema ini SANGAT RELEVAN!! Sangat bener. Suer. Bahasa inteleknya ‘aktual, tajam terpercaya’. Beuuhh.. kenapa? Bakal gua share 2 pemikiran gua disini. Yang pertama mungkin langsung tentang kasus yang terjadi di sekitar kita, dan yang kedua yang agak filosofis.

Kesadaran Kebersihan
Seberapa banyak dari kita yang buang sampah pada tempatnya? Banyaaak. Seberapa banyak dari kita yang merasa ga nyaman ngeliat temen kita ga buang sampah pada tempatnya? Berkuraang banyaknya. Seberapa banyak dari kita yang negor temen kalo buang sampah sembarangan atau bahkan ngebersihin sampah yang dibuang temen kita? Semakiiiin dikiiit dan hampir ga ada.

Lo abis ikut seminar, dikasih snack kotak kan tuh biasanya. Abis lo makan snacknya pas seminar apakah lo buang kotaknya pada tempatnya? Sebagian besar dari kita pasti buang di tempat duduk kita aja. Toh nanti ada panitia seminar yang bersihin. Atau yang beli popcorn di bioskop, apakah lo buang sampah popcornnya abis filmnya selesai?

Terus yang terjadi di kantin tempat gua menuntut ilmu (disebutnya kantek), pelanggan itu raja! Lo pesen makan, terus tinggal bilang ‘mas gua duduk di situ ya’, makanan lo dianterin, lo bayar, lo makan, piringnya lo taro diatas meja dan nanti mas – masnya ngangkut piring itu, tanpa lo bilang makasih kek setidak tidaknya. Jarang meen yang sadar buat balikin piring itu sendiri ke pedagangnya. Kita semua berpikir bahwa: ya emang itu tugas dia, gua udah bayar.

Miris emang, beda sama kampus – kampus di luar negeri. Mahasiswanya mandiri, makan ngambil sendiri ke pedagang, terus duduk, terus abis makan piringnya dianterin ke pedagangnya lagi. Sedangkan di sini, di kampus gua, itu hanya terjadi di kantin dosen. Dosen ambil makanan ke pedagang, terus makan, terus dosen balikin piring kotornya ke pedagang. Dosen loh!! S2, S3, master, doktor, professor, guru besar. Ya ini jadi renungan kita bersama, renungan gua pribadi juga buat berubah.


Manusia itu makhluk sosial.
Manusia itu mahluk sosial, beda ama binatang, apalagi tumbuhan. Apa ciri utama mahluk sosial? Ada tiga: (1) komunikasi (atau bahasa tekniknya ‘interaksi’) dan (2) menghormati/ menghargai karena (3) saling membutuhkan. Kalo kita liat mahasiswa sekarang (dan termasuk gua sendiri juga), komunikasi dan sikap menghormatinya udah luntur banget, akar masalahnya ya karena mereka ga merasa ‘saling membutuhkan’.

Apa itu komunikasi? Ya interaksi lo dengan manusia lain. Gimana lo berhubungan sama manusia lain. Gimana lo sering ngobrol sama manusia lain. Masalah yang terjadi di tempat gua menuntut ilmu adalah, mahasiswa makin kesini makin kurang interaksi lintas angkatannya. Interaksi dengan senior, maupun dengan junior. Interaksi sesama mahasiswa aja ngurang, apalagi interaksi dengan dosen, dengan karyawan, dengan satpam, penjaga kantin, dll.

Terus yang kedua adalah menghormati. Simpelnya adalah gimana lo menghormati orang yang lebih muda, sepantaran ataupun yang lebih tua dari lo. Sebenernya panjang banget yang mau gua curhatin tentang menghormati ini. Contoh simpelnya adalah gimana lo menghormati dosen, menghormati petugas kantin, karyawan, dll. cara menghormati ya setidaknya nyapa dengan sopan lah ke mereka. Dan anggap mereka MANUSIA, bukan robot. Karena mereka emang manusia.

Kenapa kedua nilai tersebut bisa sampe luntur? Menurut gw adalah karena mahasiswa semakin merasa tidak membutuhkan orang lain. Akar masalahnya ya karena kemajuan teknologi, bahasa kerennya globalisasi, modernisasi, atau apa lah itu. Berkembangnya arus informasi membuat kita bisa tau segalanya, kita bisa dapet segalanya, kita adalah segalanya. Kita terlalu disibukkan dan dimanjakan oleh teknologi ini. Buat apa dosen? Gua bisa belajar dari buku. Ebook gratisan semua lagi. Kalo ga dari temen gua juga bisa. Buat apa hormat sama karyawan atau penjaga kantin atau satpam? Mereka gua yang bayar kok. Kalo gua ga suka tinggal dipecat, terus banyak yang mau gantiin posisinya. Ya kasarnya seperti itu, sehingga kita merasa tidak membutuhkan orang lain. Itu yang membuat kenapa kita males ngembaliin piring kotor ke pedagang kantin. Itu yang buat kita males buang sampah pada tempatnya, apalagi ngingetin temen buat buang sampah pada tempatnya. Itu sumber – sumber degradasi nilai kemanusiaan pada manusia.

Alhasil, gua setuju sama tema OKK UI 2012 tersebut. Atau saran gua buat OKK UI 2013 ini temanya ‘Aku Mahluk Hidup looh’ aja. Yah cerminan buat diri gua sendiri juga sih, gua belum sesempurna apa yang gua tulis disini juga. Dan harapannya cerminan juga buat yang baca tulisan ini. Semoga kita bisa jadi lebih baiiiik. Aamiin.