Tuesday, January 8, 2013

Mengapa Bangsa Asia Kurang Kreatif Dibanding Bangsa Barat?

Tulisan ini diambil dari note facebook Mikrajuddin Abdullah.

(Sumber: diambil dari milis dosen ITB). Mari kita renungkan apakah kita (dosen, mahasiswa, atau siapa saja) memiliki kriteria seperti yang disebutkan Prof. Kwang berikut ini atau tidak.
 
Prof. Ng Aik Kwang dari  University of Queensland, dalam bukunya "Why Asians Are Less Creative Than Westerners" (2001) yang dianggap kontroversial tapi ternyata menjadi "best seller". ( www.idearesort.com/trainers) mengemukakan beberapa hal ttg bangsa-bangsa Asia yang telah membuka mata dan pikiran banyak orang:
  1. Bagi kebanyakan org Asia, dlm budaya mereka,  ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah,  mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta thdp sesuatu) kurang  dihargai. Akibatnya, bidang kreatifitas kalah populer oleh profesi  dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat  menjadikan seorang utk memiliki kekayaan banyak.
  2. Bagi orang  Asia, banyaknya kekayaan yg dimiliki lbh dihargai drpd CARA memperoleh  kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai ceritera, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir/ diterima sbg sesuatu yg wajar.
  3. Bagi orangg  Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis "kunci jawaban" bukan  pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT dll semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus2 Imu  pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan utk memahami kapan dan  bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut.
  4. Karena berbasis  hafalan, murid2 di sekolah di Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran.  Mereka dididik menjadi "Jack of all trades, but master of none" (tahu  sedikit sedikit ttg banyak hal tapi tidak menguasai apapun).
  5. Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa  jadi juara dlm Olimpiade Fisika, dan Matematika. Tapi hampir tidak  pernah ada org Asia yang menang  Nobel atau hadiah internasional lainnya  yg berbasis inovasi dan kreativitas.
  6. Orang Asia  takut salah dan takut kalah. Akibat- nya sifat eksploratif sbg upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.
  7. Bagi keanyakan bangsa Asia,  bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat  dalam proses pendidikan di sekolah
  8. Karena takut salah dan  takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop,  peserta jarang mau bertanya tetapi stlh sesi berakhir peserta mengerumuni guru / narasumber utk minta penjelasan tambahan.
 
Dalam bukunya Prof.Ng Aik Kwang menawarkan bbrp solusi  sbb:
  1. Hargai proses. Hargailah org krn pengabdiannya bukan  karena kekayaannya.
  2. Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban. Biarkan murid  memahami bidang yang paling disukainya
  3. Jangan jejali  murid dgn banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk apa diciptakan  kalkulator kalau jawaban utk X x Y harus dihapalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar2 dikuasainya
  4. Biarkan anak memilih profesi berdasarkan PASSION (rasa cinta) nya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yg lebih cepat menghasilkan uang
  5. Dasar kreativitas adlh rasa  penasaran berani ambil resiko. AYO BERTANYA!
  6. Guru  adlh fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya. Mari akui dengan bangga kalau KITA TIDAK TAU!
  7. Passion manusia adalah anugerah  Tuhan..sebagai orang tua kita bertanggung-jawab untuk mengarahkan anak  kita untuk menemukan passionnya dan mensupportnya. Mudah2an dengan begitu, kita bisa memiliki anak-anak dan cucu yang kreatif, inovatif tapi juga memiliki integritas dan idealisme tinggi tanpa korupsi

Saturday, January 5, 2013

Proletar vs Borjuis, Sedikit Renungan Kehidupan


Masih terngiang di telinga kita tentang pro kontra kenaikan harga BBM yang (katanya) akan mencekik warga kecil. Masih terngiang di telinga kita tentang draft RUU PT yang (katanya) akan menjadi komersialisasi pendidikan. Masih terngiang di telinga kita tentang draft Statuta UI yang mengandung unsur diskriminasi terhadap rakyat kecil. Dan yang masih sangat amat terngiang, tentu isu penggusuran pedagang kios di sepanjang stasiun Bogor-Jakarta Kota. Dari seluruh kejadian tersebut, aku melihat satu kesamaan: ini adalah perihal Proletar vs Borjuis.

Proletar menuntut keadilan, sedangkan borjuis haus akan harta. Proletar mau makan, borjuis mau beli mobil. Proletar mau menjadi borjuis, borjuis mau menjadi superborjuis. Borjuis membodohi proletar, proletar berteriak-teriak. Borjuis yang dulunya proletarpun, cenderung melupakan kondisinya saat ia masih seorang proletar. Ya, itulah ironi kehidupan menurutku. Itu merupakan inti setiap kejadian yang menimbulkan pro kontra di masyarakat.

Sayangnya manusia jarang belajar dari sejarah. Sekiranya itu pikiranku. Kejadian ini telah berlangsung dari sejak awal kemerdekaan. PKI, partai yang selama ini dikonotasikan akan kejahatan, sebenarnya adalah partai yang pro-proletariat. Sedangkan kemerdekaan Indonesia adalah revolusi dari kaum borjuis. Padahal seharusnya revolusi jatuh di tangan proletar, yang mengerti benar penindasan, sekiranya itu prinsip utama PKI.

Bahkan pada Program Umum PKI pada tahun 1950an, dengan gambling PKI mengatakan ‘Sistem Negara Indonesia tidak seharusnya antirakyat yang dikuasai tuan-tuan dan komprador, melainkan harus sistem Negara rakyat, yaitu Demokrasi rakyat, demokrasi yang seharusnya tidak berada di tangan kaum borjuis melainkan kelas buruh-tani’.

Aku mulai berpikir, prinsip PKI itu ada benarnya juga. Bukankah pemerintahan, hingga saat ini, masih dipegang oleh kaum borjuis (yang sifat umumnya telah aku sebutkan di atas)? Bukankah Negara kita belum pernah, sekalipun, dipegang oleh kaum proletar? Tetapi aku juga berpikir, apakah kaum proletar mampu menjalankan Negara? Mampu mengambil keputusan-keputusan? Mampu berhadapan dengan borjuis-borjuis asing?

Lalu di mana dudukku, sebagai kaum (yang insya Allah) intelektual? Di mana duduk mahasiswa sebagai kaum intelektual? Menurutku, idealnya kaum intelektual duduk di tengah, di antara proletar dan borjuis. Tetapi apakah bisa? Bukankah intelektual itu borjuis? Atau justru intelektual itu proletar? Atau tergantung dari status ekonominya?

Sampai akhir pemikiranku, aku tetap berpegang teguh bahwa kaum intelektual seharusnya duduk di tengah, persis di tengah, tidak condong ke kiri maupun ke kanan sedikitpun. Harus membela proletar, juga harus membela borjuis. Kiranya itu yang dapat kupetik dari sejarah.

Tapi apakah aku bisa, apakah kita bisa, selamanya menjadi kaum intelektual? Atau saat dewasa nanti aku malah menjadi borjuis? Atau malah menjadi proletar? Dan aku yakin sebagian borjuis pun awalnya adalah intelektual (yang terjilat oleh harta duniawi). Dan aku yakin sebatas teori seperti catatan ini telah mereka mengerti. Lalu apa yang dapat memertahankan posisiku sebagai kaum (yang insya Allah) intelektual? Jawabannya mungkin berbeda setiap orangnya, tapi sejauh ini, bagiku ‘sejarah’-lah jawabannya. Insya Allah.

Bramka Arga Jafino
Minggu, 6 Januari 2013

Referensi
Soerojo, Soegiarso. 1988. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Jakarta: C.V. Sri Murni.