Masih terngiang di telinga kita tentang pro kontra kenaikan harga BBM
yang (katanya) akan mencekik warga kecil. Masih terngiang di telinga kita
tentang draft RUU PT yang (katanya) akan menjadi komersialisasi pendidikan. Masih
terngiang di telinga kita tentang draft Statuta UI yang mengandung unsur
diskriminasi terhadap rakyat kecil. Dan yang masih sangat amat terngiang, tentu
isu penggusuran pedagang kios di sepanjang stasiun Bogor-Jakarta Kota. Dari seluruh
kejadian tersebut, aku melihat satu kesamaan: ini adalah perihal Proletar vs
Borjuis.
Proletar menuntut keadilan, sedangkan borjuis haus akan harta. Proletar
mau makan, borjuis mau beli mobil. Proletar mau menjadi borjuis, borjuis mau
menjadi superborjuis. Borjuis membodohi proletar, proletar berteriak-teriak.
Borjuis yang dulunya proletarpun, cenderung melupakan kondisinya saat ia masih
seorang proletar. Ya, itulah ironi kehidupan menurutku. Itu merupakan inti setiap kejadian yang menimbulkan
pro kontra di masyarakat.
Sayangnya manusia jarang belajar dari sejarah. Sekiranya itu pikiranku. Kejadian
ini telah berlangsung dari sejak awal kemerdekaan. PKI, partai yang selama ini
dikonotasikan akan kejahatan, sebenarnya adalah partai yang pro-proletariat. Sedangkan
kemerdekaan Indonesia adalah revolusi dari kaum borjuis. Padahal seharusnya
revolusi jatuh di tangan proletar, yang mengerti benar penindasan, sekiranya
itu prinsip utama PKI.
Bahkan pada Program Umum PKI pada tahun 1950an, dengan gambling PKI
mengatakan ‘Sistem Negara Indonesia tidak seharusnya antirakyat yang dikuasai
tuan-tuan dan komprador, melainkan harus sistem Negara rakyat, yaitu Demokrasi
rakyat, demokrasi yang seharusnya tidak berada di tangan kaum borjuis melainkan
kelas buruh-tani’.
Aku mulai berpikir, prinsip PKI itu ada benarnya juga. Bukankah pemerintahan,
hingga saat ini, masih dipegang oleh kaum borjuis (yang sifat umumnya telah aku
sebutkan di atas)? Bukankah Negara kita belum pernah, sekalipun, dipegang oleh
kaum proletar? Tetapi aku juga berpikir, apakah kaum proletar mampu menjalankan
Negara? Mampu mengambil keputusan-keputusan? Mampu berhadapan dengan
borjuis-borjuis asing?
Lalu di mana dudukku, sebagai kaum (yang insya Allah) intelektual? Di mana
duduk mahasiswa sebagai kaum intelektual? Menurutku, idealnya kaum intelektual
duduk di tengah, di antara proletar dan borjuis. Tetapi apakah bisa? Bukankah
intelektual itu borjuis? Atau justru intelektual itu proletar? Atau tergantung
dari status ekonominya?
Sampai akhir pemikiranku, aku tetap berpegang teguh bahwa kaum
intelektual seharusnya duduk di tengah, persis di tengah, tidak condong ke kiri
maupun ke kanan sedikitpun. Harus membela proletar, juga harus membela borjuis.
Kiranya itu yang dapat kupetik dari sejarah.
Tapi apakah aku bisa, apakah kita bisa, selamanya menjadi kaum
intelektual? Atau saat dewasa nanti aku malah menjadi borjuis? Atau malah
menjadi proletar? Dan aku yakin sebagian borjuis pun awalnya adalah intelektual
(yang terjilat oleh harta duniawi). Dan aku yakin sebatas teori seperti catatan
ini telah mereka mengerti. Lalu apa yang dapat memertahankan posisiku sebagai
kaum (yang insya Allah) intelektual? Jawabannya mungkin berbeda setiap orangnya,
tapi sejauh ini, bagiku ‘sejarah’-lah jawabannya. Insya Allah.
Bramka Arga Jafino
Minggu, 6 Januari 2013
Referensi
Soerojo, Soegiarso. 1988. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Jakarta: C.V. Sri Murni.
No comments:
Post a Comment