Saturday, January 5, 2013

Proletar vs Borjuis, Sedikit Renungan Kehidupan


Masih terngiang di telinga kita tentang pro kontra kenaikan harga BBM yang (katanya) akan mencekik warga kecil. Masih terngiang di telinga kita tentang draft RUU PT yang (katanya) akan menjadi komersialisasi pendidikan. Masih terngiang di telinga kita tentang draft Statuta UI yang mengandung unsur diskriminasi terhadap rakyat kecil. Dan yang masih sangat amat terngiang, tentu isu penggusuran pedagang kios di sepanjang stasiun Bogor-Jakarta Kota. Dari seluruh kejadian tersebut, aku melihat satu kesamaan: ini adalah perihal Proletar vs Borjuis.

Proletar menuntut keadilan, sedangkan borjuis haus akan harta. Proletar mau makan, borjuis mau beli mobil. Proletar mau menjadi borjuis, borjuis mau menjadi superborjuis. Borjuis membodohi proletar, proletar berteriak-teriak. Borjuis yang dulunya proletarpun, cenderung melupakan kondisinya saat ia masih seorang proletar. Ya, itulah ironi kehidupan menurutku. Itu merupakan inti setiap kejadian yang menimbulkan pro kontra di masyarakat.

Sayangnya manusia jarang belajar dari sejarah. Sekiranya itu pikiranku. Kejadian ini telah berlangsung dari sejak awal kemerdekaan. PKI, partai yang selama ini dikonotasikan akan kejahatan, sebenarnya adalah partai yang pro-proletariat. Sedangkan kemerdekaan Indonesia adalah revolusi dari kaum borjuis. Padahal seharusnya revolusi jatuh di tangan proletar, yang mengerti benar penindasan, sekiranya itu prinsip utama PKI.

Bahkan pada Program Umum PKI pada tahun 1950an, dengan gambling PKI mengatakan ‘Sistem Negara Indonesia tidak seharusnya antirakyat yang dikuasai tuan-tuan dan komprador, melainkan harus sistem Negara rakyat, yaitu Demokrasi rakyat, demokrasi yang seharusnya tidak berada di tangan kaum borjuis melainkan kelas buruh-tani’.

Aku mulai berpikir, prinsip PKI itu ada benarnya juga. Bukankah pemerintahan, hingga saat ini, masih dipegang oleh kaum borjuis (yang sifat umumnya telah aku sebutkan di atas)? Bukankah Negara kita belum pernah, sekalipun, dipegang oleh kaum proletar? Tetapi aku juga berpikir, apakah kaum proletar mampu menjalankan Negara? Mampu mengambil keputusan-keputusan? Mampu berhadapan dengan borjuis-borjuis asing?

Lalu di mana dudukku, sebagai kaum (yang insya Allah) intelektual? Di mana duduk mahasiswa sebagai kaum intelektual? Menurutku, idealnya kaum intelektual duduk di tengah, di antara proletar dan borjuis. Tetapi apakah bisa? Bukankah intelektual itu borjuis? Atau justru intelektual itu proletar? Atau tergantung dari status ekonominya?

Sampai akhir pemikiranku, aku tetap berpegang teguh bahwa kaum intelektual seharusnya duduk di tengah, persis di tengah, tidak condong ke kiri maupun ke kanan sedikitpun. Harus membela proletar, juga harus membela borjuis. Kiranya itu yang dapat kupetik dari sejarah.

Tapi apakah aku bisa, apakah kita bisa, selamanya menjadi kaum intelektual? Atau saat dewasa nanti aku malah menjadi borjuis? Atau malah menjadi proletar? Dan aku yakin sebagian borjuis pun awalnya adalah intelektual (yang terjilat oleh harta duniawi). Dan aku yakin sebatas teori seperti catatan ini telah mereka mengerti. Lalu apa yang dapat memertahankan posisiku sebagai kaum (yang insya Allah) intelektual? Jawabannya mungkin berbeda setiap orangnya, tapi sejauh ini, bagiku ‘sejarah’-lah jawabannya. Insya Allah.

Bramka Arga Jafino
Minggu, 6 Januari 2013

Referensi
Soerojo, Soegiarso. 1988. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Jakarta: C.V. Sri Murni.

No comments:

Post a Comment