Sunday, December 21, 2014

STOP Klakson!

STOP Klakson!

Sore ini ketika saya sedang mengemudi sepeda motor di ruas jalan Margonda, tepatnya di lampu merah Juanda arah dari Margo City, ada seorang pengendara sepeda motor lainnya yang kurang beruntung (sebut aja si A). Ketika lampu merah berubah menjadi hijau dan semua kendaraan jalan, motor si A yang berada di depan sebuah taksi tiba – tiba mogok dan tak bisa dinyalakan. Waktu saya melewati si A, si A sedang berusaha menyalakan motornya namun motor tak kunjung menyala. Taksi dibelakangnya pun mengklakson dengan sangat kencang, bertubi – tubi dan gak berhenti – henti. Klakson susulan dibunyikan oleh motor – motor dan mobil – mobil di belakangnya yang juga tidak dapat bergerak karena mogoknya motor si A ini.


Oke, sebelum bahas kasus si A, saya tertarik untuk membahas gambar reinforcing loop di atas dulu. Di jalanan yang macet (lampu merah salah satunya) sering banget kita temuin mobil – mobil dan motor – motor yang membunyikan klaksonnya karena tidak sabar. Padahal kalau kita nglakson di kondisi tersebut, suara klakson kita akan menambah emosi kumulatif semua pengemudi yang ada di jalan. Emosi kumulatif yang bertambah ini memicu kita dan pengendara/pengemudi lainnya buat nglakson juga, yang akhirnya jumlah klakson semakin banyak dan emosi kumulatif juga meningkat terus. Akhirnya, yang kita dapat adalah capek karena emosi mendengarkan klakson – klakson tersebut. Sadar ga sih mereka bahwa mereka sedang terjebak dalam reinforcing loop di atas?

Oke, mungkin sekarang orang sudah makin waras. Mereka tidak klakson karena ketidaksabaran mereka, tapi mereka nglakson karena ada perilaku salah satu pengemudi lainnya yang merugikan mereka. Contohnya, kayak si A yang tidak beruntung ini. Masih benarkah kalo mereka nglakson?




Diagram loop di atas menggambarkan ekspansi dari loop sebelumnya, di mana sekarang ditambah perilaku si A. pengemudi – pengemudi lainnya nglakson dengan harapan si A segera sadar untuk memperbaiki situasinya (dalam hal ini nyalain motornya), sehingga si A meningkatkan usahanya dan situasi yang tidak diinginkan (dalam hal ini mesin motor yang tiba – tiba mati padahal lampu sudah hijau) segera diselesaikan. Kalau ‘situasi yang tidak diinginkan’ sudah terselesaikan, maka jumlah klakson akan berkurang dan hilang (panah biru menunjukkan hubungan yang berbanding lurus, sedangkan panah merah menunjukkan hubungan berbanding terbalik).

Tapi sadarkah si pengemudi – pengemudi yang mengklakson ini, bahwa ada dampak lain akibat klakson yang terlalu banyak? Coba anda bayangkan kalau anda berada di posisi si A, dan tiba – tiba hujatan klakson datang bertubi – tubi. Anda pasti akan kaget dan menjadi panik, sehingga konsentrasi anda untuk memperbaiki situasi justru berkurang dan ‘situasi yang tidak diinginkan’ pun menjadi semakin lama terselesaikan. Jelas, karena orang yang berada dalam tekanan cenderung tidak dapat berpikir dengan lebih baik. Alhasil, justru klakson pertama akan mengundang klakson – klakson lainnya untuk berbunyi dan memperkeruh suasana.

Diagram loop di atas adalah diagram sederhana dari perilaku tipikal masyarakat Indonesia (atau mungkin cuma Depok dan Jakarta?). Masalahnya, saat semakin banyak orang berperilaku demikian, justru sebenarnya semakin memperparah suasana.

Andai kita sadar bahwa banyak tindakan kita yang justru memperkeruh suasana.

Andai kita sadar bahwa perilaku sederhana yang tidak baik akan menjadi masalah jika dilakukan oleh banyak orang.

Andai kita sadar bahwa sikap kita dapat mempengaruhi sikap orang lain juga.

Dunia ini bulat, begitu juga sistem di dalamnya.


Bramka Arga Jafino. 20 Desember 2014 pukul 21.18 WIB.

Sunday, December 14, 2014

'Sukses'nya Seorang Mahasiswa?

Sewaktu mahasiswa baru saya memiliki pertanyaan besar: ‘Apa sih suksesnya mahasiswa itu?’.

Latar belakang SMA saya adalah salah satu SMA Negeri unggulan di kota Depok. Karena SMA unggulan, otomatis parameter kesuksesan seluruh siswanya relatif sama: menang lomba, menang OSN, atau masuk PTN unggulan sesuai dengan jurusan yang diinginkan. Hal yang paling mudah disorot adalah masuk PTN unggulan. Saat kelas X, saya melihat kakak – kakak kelas saya yang diterima di UI, ITB, UGM, dll dan menurut saya mereka sangat keren. Hingga sampai saatnya saya menduduki bangku kelas XII, seluruh teman seangkatan saya pun memiliki pandangan yang sama bahwa sukses itu adalah saat kita berhasil masuk PTN unggulan.

Pandangan yang berbeda saya jumpai saat saya menjadi mahasiswa baru di UI, terutama pada masa Mabim dan pasca Mabim. Saya melihat senior saya ada yang langsung menjadi manajer saat lulus. Saya melihat senior saya ada yang menlanjutkan studi S2 di luar negeri. Saya melihat senior saya ada yang membuat usaha sendiri. Saya melihat senior saya ada yang bergerak di bidang pengabdian masyarakat. Saya melihat senior saya ada yang menang lomba ini itu. Saya melihat senior saya yang setiap hari kerjaannya di Kantek (re: Kantin Teknik) ngobrol, ketawa, main kartu dan nyanyi – nyanyi. Saya pun melihat senior saya ada yang sangat organisatoris – menduduki posisi – posisi penting di lembaga kemahasiswaan. Saya melihat senior saya ada yang suka nongkrong di lab, baik mengerjakan riset maupun main dota dsb. Apakah ada sebagian dari mereka yang tidak sukses? Atau seluruhnya sukses? Atau malah seluruhnya tidak ada yang sukses?

Premis saya saat akhir semester satu adalah: suksesnya mahasiswa itu, kamu yang definisikan sendiri! Setiap mahasiswa berhak menentukan suksesnya itu apa. Pada dasarnya ‘sukses’nya mahasiswa itu tidak seragam, tidak seperti siswa SMA atau SMP atau SD. Setiap mahasiswa memiliki passion-nya masing – masing dan mahasiswa akan sukses saat mereka telah membuat suatu pencapaian berdasarkan passion-nya sehingga suksesnya mahasiswa pun beragam. Sekiranya itu premis saya saat mahasiswa baru sehingga saya pun menentukan beberapa kriteria ‘sukses’ versi saya sendiri (Pesta, buku dan cinta. Namun akan saya bahas pada lain kesempatan hehe).

Sampai akhirnya saya menulis tulisan ini, di suatu hari minggu di penghujung semester 7 saya. Beberapa hari semenjak saya lengser dari amanah organisasi yang dititipkan, saya mengingat kembali premis saya saat maba dulu. Saya merefleksikan diri saya sendiri ‘apakah saya sudah sukses?’.

Namun kondisinya berbeda. Sekarang saya menemukan definisi ‘sukses’ yang lebih baik. Sukses bukan tentang prestasi. Sukses bukan tentang pencapaian. Sukses adalah ketika kita bahagia dan tidak menyesal atas waktu yang telah kita habiskan. Saya sukses jika tidak ada penyesalan akan 3,5 tahun yang telah saya habiskan untuk berbagai aktivitas. Sukses adalah suatu kondisi, suatu perasaan.

Hingga akhirnya, kembali saya merenung, ‘sudah sukseskah saya?’.


Bramka Arga Jafino. 14 Desember 2014 pukul 23.45 WIB. 

Saturday, August 30, 2014

Renungan Penjual Tisu dan Masker

“”
Berjalan di bawah lorong pertokoan
Di Surabaya yang panas
Debu-debu ramai beterbangan
Di hempas oleh bis kota

Bis kota sudah miring ke kiri
Oleh sesaknya penumpang
Aku terjepit disela-sela
Ketiak para penumpang yang bergantungan

“”

Jreeeeeng…..jreng….jreeenng….

Kira kira begitu lagu yang dialunkan oleh sang pengamen, yang mengamen di tengah kerumunan orang – orang kepanasan akibat sesaknya bis kota. Lagu Bis Kota karangan Franky Sahilatua tentu masih relevan untuk kondisi bis kota saat ini yang tidak banyak membaik sejak lagu tersebut dikarang puluhan tahun yang lalu. Tapi aku rasa, ada satu yang membaik---kondisi pengamen bis kota tersebut!

Dua bulan aku pulang pergi ke Jakarta menggunakan bis kota, untuk kepentingan magang kuliahku. Dari sekian banyak fenomena, fenomena pengamen bis kota ini merupakan salah satu fenomena ironi yang aku temukan. Sebagian besar dari mereka adalah pemuda, mungkin seumuran dengan kita atau tidak jauh berbeda dari kita. Pemuda yang masih penuh harapan untuk menggores tinta masa depannya. Tetapi alih – alih memersiapkan tinta masa depannya, mereka memilih jalan instan dengan menjadi pengamen bis kota.

Aku awalnya adalah orang yang sangat enggan untuk tidak memberi uang kepada pengamen – pengamen seperti itu. Sampai akhirnya ada sesosok pekerjaan lain yang membuat aku ironi. Penjual tisu dan masker yang ada di hampir setiap terminal. Sebagian besar dari mereka memiliki profil yang bertolak belakang dengan pengamen bis kota. Jika sebagian besar pengamen bis kota adalah anak muda yang masih penuh dengan tanda tanya, sebagian besar penjual tisu dan masker adalah bapak – bapak atau ibu – ibu yang sudah hampir kehabisan tinta masa depan. Para penjual tisu dan masker adalah bapak – bapak dan ibu – ibu yang mungkin menggantungkan nasib keluarganya melalui helai demi helai tisu dan masker yang ia bawa.

Hal yang membuat aku semakin merasa ironi adalah pendapatan yang mereka dapat dari pekerjaannya. Taruhlah sebuah bis kota berpenumpang 40 orang. Dengan sekali mengamen, kita asumsikan ada 10 orang yang setidaknya memberi sumbangan 1000 rupiah. Dan kita asumsikan dalam satu jam terdapat 3 bis kota yang masuk ke terminal. Dengan kata lain, dalam satu jam pengamen dapat memperoleh penghasilan 10x1000x3 = 30 ribu rupiah. Jumlah pengamen umumnya 2 orang, sehingga setiap pengamen bisa mendapat 15 ribu rupiah dalam satu jam. Jika dikali 8 jam, tentu mereka sudah mendapat penghasilan yang cukup untuk menghidupi mereka.

Lantas bagaimana dengan penjual tisu dan masker? Sebungkus tisu dengan ukuran sedang hanya berharga 2000 rupiah. Sehelai masker berharga 1000 rupiah. Sedangkan dalam sebuah bis kota, belum tentu ada seorang pun yang ingin membeli tisu apalagi masker. Mungkin mereka juga bisa berjualan ke pengunjung terminal lain yang tidak menaiki bis kota, tetapi saya yakin jumlahnya pun tergolong sedikit. Apalagi jumlah penjual tisu dan masker lebih banyak dari jumlah pengamen bis kota, sehingga persaingan mereka untuk mendapat pelanggan pun lebih ketat. Bisa kita bayangkan, betapa kecilnya penghasial penjual tisu dan masker tersebut.

Hal tersebut mendorong aku untuk memprioritaskan membeli tisu, masker, atau barang dagangan lain yang dijual pedagang di bis kota alih – alih mengocek sakuku untuk memberi uang ke pengamen bis kota.

Yah, itu semua tentu didasari asumsi pengamatanku selama 2 bulan menggunakan bis kota pulang dan pergi magang. Tentu aku berharap pengamatan salah. Tentu aku berharap para penjual tisu dan masker mendapatkan penghasilan yang lebih besar dari hitungan asumtifku. Tentu aku berharap mereka memiliki sumber penghasilan lain selain menjual tisu dan masker. Tentu aku berharap mereka dapat menafkahi keluarga mereka dengan baik.



Ide muncul saat melihat banyaknya pedagang tisu dan masker yang bersikap santun ke pengguna bis kota. Melebihi santunnya pegawai hotel bintang 3. Ide diejawantahkan ke dalam tulisan di tengah kamar yang pengap.

Saturday, March 1, 2014

Muker IKM FTUI: Masa Depan Indonesia di Tangan Kita

Indonesia dan Kemahasiswaan
Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.
Siapa yang tak kenal dengan kalimat di atas. Sebuah kalimat legendaris yang diucapkan oleh Bung Karno di masa kemerdekaan Indonesia dulu. Sebuah kalimat yang esensinya masih relevan dengan keadaan masa kini. Mari kita sedikit menengok China. Pada tahun 1988-2013, China dipimpin oleh engineer. Pertumbuhan ekonominya meroket, bahkan menjadi superpower baru di samping Amerika. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Bagaimana kondisi engineer – engineer bangsa kita? Sudahkah calon – calon engineer muda mengalami tempaan yang ‘pas’ agar menjadi engineer kelas dunia?

FTUI, salah satu Fakultas Teknik terbaik di Indonesia, mencetak sekitar 1000 engineer baru setiap tahunnya. Proses pencetakan yang berlangsung selama kurang lebih empat tahun, tentu tidak terbatas hanya pencetakan di dalam kelas semata. Misal seorang mahasiswa mengambil 20 SKS setiap semesternya, berarti ia akan menggunakan waktunya sebanyak 20 x 50menit per minggu, 16 minggu x 1000 menit per semester, 2 semester x 16000 menit atau 32000 menit pertahun. Selama satu tahun tempaan di bangku kuliah hanya selama 32000 menit atau jika dikonversi ke dalam hari, hanya 22,22 hari. Lantas kemana sisa 343 hari dalam satu tahun? Jawabannya adalah suatu proses pencetakan yang bernama kemahasiswaan.

Kemahasiswaan adalah bahasan yang sangat luas. Kemahasiswaan tidak hanya berbicara tentang lembaga dan organisasi mahasiswa. Kemahasiswaan bicara tentang segala kegiatan yang dilakukan mahasiswa yang seharusnya bertujuan untuk menempa diri mereka menjadi lulusan yang tidak hanya berotak Habibie, tetapi juga bermental Soekarno. Kemahasiswaan bicara tentang mengimprove mahasiswa menjadi insan yang lebih baik dari segi paradigma, kemampuan serta sikap.

Kemahasiswaan di FTUI
Di FTUI kemahasiswaan dijawantahkan dalam suatu ikatan yang bernama IKM FTUI. IKM FTUI adalah suatu wadah perjuangan bersama yang menghimpun mahasiswa FTUI dalam satu ikatan dan satu sikap moral. IKM FTUI memiliki tujuan, strategi untuk mencapai tujuan tersebut, serta perangkat peraturan yang menjaga kesatuan IKM FTUI itu sendiri. Jika selama ini anda mengikuti kegiatan BEM, IM, BO, BSO, BOK dan KPD maka sebenarnya anda menjalani bagian kecil dari rangkaian besar ‘proses penempaan’ yang disediakan oleh IKM FTUI.

Seperti halnya perindustrian yang pasang dan surut seiring waktu, IKM FTUI pun harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Tantangan setiap zaman berbeda, sehingga IKM FTUI harus mampu mentransformasi dirinya menjadi entitas yang sesuai dengan zaman, tanpa kehilangan nilai – nilai luhurnya. Tujuan IKM FTUI, strategi untuk mencapai tujuan tersebut, peraturan – peraturan yang ada, bahkan landasan ideologis dari IKM FTUI pun harus dapat sesuai dengan zaman agar mampu memberikan ‘proses penempaan’ yang pas. Untuk menjawab tantangan tersebut wajah IKM FTUI harus selalu ditinjau ulang. Peninjauan tersebut ada yang bersifat relative kecil sehingga dilakukan setiap tahun (seiring dengan pergantian kepengurusan lembaga), dan ada juga yang relatif besar sehingga diadakan minimal sekali dalam empat tahun. Peninjauan ulang skala besar di IKM FTUI disebut dengan Musyawarah Kerja IKM FTUI (MUKER IKM FTUI)

MUKER IKM FTUI: Menjawab Tantangan Zaman
MUKER adalah forum pengambilan keputusan tertinggi di IKM FTUI. MUKER memiliki wewenang untuk menetapkan hal – hal mendasar yang ada di IKM FTUI, baik itu landasan ideologis, landasan konstitusional maupun landasan operasional. Singkat kata, MUKER adalah forum yang akan memutuskan bagaimana wajah dan arah gerak IKM FTUI hingga empat tahun ke depan. Berikut adalah beberapa ilustrasi hal yang dapat diputuskan melalui MUKER.

1. Pembubaran IKM FTUI
Jika anda merasa format besar kegiatan kemahasiswaan sekarang sudah tidak relevan dengan kebutuhan mahasiswa, maka tidak mustahil bahwa IKM FTUI itu sendiri sebaiknya dibubarkan. MUKER memiliki wewenang untuk membubarkan IKM FTUI.

2. Mengubah Landasan Ideologis
Layaknya Pancasila bagi Indonesia, IKM FTUI juga memiliki landasan idelogis yang bernama Kode Etik IKM FTUI. Landasan ideologis inilah yang menjadi jiwa dalam setiap kegiatan kemahasiswaan. Jika landasan ideologis sudah tidak relevan dengan kebutuhan zaman maka dapat diubah melalui MUKER.

3. Mengubah Landasan Konstitusional
Masih relevankah peraturan – peraturan yang ada pada PD PRT (Peraturan Dasar – Peraturan Rumah Tangga) terhadap kondisi kekinian mahasiswa? Masih relevankah adanya persyaratan tidak boleh rangkap jabatan untuk Ketua dan BPH beberapa lembaga ditengah arus globalisasi? Jawab pertanyaan tersebut dan lakukan tindakan konkret melalui MUKER.

4. Mengubah Tujuan IKM FTUI
IKM FTUI memiliki tujuan yang kemudian akan ditranslasikan melalui beberapa tahap hingga menjadi program kerja. Jika anda mengeluh tentang program kerja lembaga – lembaga yang tidak sesuai dengan kebutuhan mahasiswa, maka anda dapat merombaknya habis – habisan dengan cara merevisi ‘hulu’nya via MUKER.

5. Mengubah struktur dan format lembaga
MUKER dapat mengubah struktur kelembagaan di IKM FTUI yang menganut konsep trias politica. Apakah dengan segitu banyaknya lembaga kemahasiswaan dapat membuat ‘proses penempaan’ menjadi lebih baik? Atau justru membuat ‘proses penempaan’ menjadi tidak optimal? Kaji lebih lanjut tentang struktur dan format lembaga IKM FTUI di MUKER.

6. Mengubah Independensi IKM FTUI
Apakah IKM FTUI masih layak untuk bersifat independen? Atau sebenarnya kita membutuhkan bantuan dari pihak dosen/dekanat untuk mengarahkan kegiatan kemahasiswaan sehingga lebih terarah dan bermanfaat? Tahukah anda bahwa pernah ada masa di mana dosen dan senat akademik fakultas menjadi bagian dari IKM FTUI? Kaji lebih lanjut tentang hal tersebut di MUKER.

Selain keenam hal tersebut, masih banyak lagi hal yang dapat dibahas dan diputuskan di MUKER. Oleh karena itu MUKER adalah jawaban yang paling tepat atas pertanyaan ‘bagaimana seharusnya kegiatan kemahasiswaan yang sesuai dengan tantangan zaman?’.

Menuju MUKER VIII IKM FTUI
Sejak berdiri pada tahun 1971, IKM FTUI telah mengadakan MUKER selama 7 kali, yakni 1971, 1974, 1976, 1995, 2003, 2007 dan 2011. Berdasarkan keputusan akhir MUKER VII, MUKER harus diadakan selambat – lambatnya empat tahun setelah MUKER VII dilaksanakan. Oleh karena itu tahun depan (2015) kita akan menyelenggarakan MUKER VIII IKM FTUI.

MPM FTUI bertanggung jawab atas terselenggaranya MUKER IKM FTUI. Dalam proses penyelenggaraan MUKER ada 2 elemen yang akan dibentuk, yakni Dewan Pengarah (DP) MUKER serta panitia MUKER. DP MUKER memiliki kewajiban untuk menganalisa peraturan – peraturan yang ada, menganalisa fakta – fakta di lapangan, melihat tantangan zaman serta memprediksi tantangan baru yang mungkin muncul dan memformulasikannya menjadi materi yang akan dibahas di MUKER nanti. DP MUKER terdiri dari satu orang perwakilan setiap lembaga serta seluruh anggota aktif IKM FTUI yang mendaftar. Maka bagi anda yang ingin menjadi bagian pencetak sejarah besar IKM FTUI, daftarlah menjadi bagian dari DP MUKER IKM FTUI.

Mengapa Kita Harus Terlibat?
Seperti yang telah dijelaskan berulang kali di atas, tantangan zaman yang selalu berubah menuntut ‘proses penempaan’ mahasiswa yang dinamis. Misal contoh sederhana adalah AEC (ASEAN Economic Community) yang akan dimulai pada tahun 2015 mendatang, tentu membawa tantangan tersendiri untuk kemahasiswaan IKM FTUI. Dapatkah engineer cetakan IKM FTUI bertahan hidup di dunia yang semakin mengglobal? Masihkah bentuk dan tujuan kegiatan – kegiatan saat ini relevan dengan kebutuhan dunia kerja? Sebesar apa peran mahasiswa dalam menentukan masa depan Indonesia? Pertanyaan – pertanyaan tersebut harus kita jawab tahun depan melalui MUKER IKM FTUI.

MUKER akan menentukan bagaimana nasib calon adik – adik kita beberapa tahun ke depan. Nasib junior – junior kita yang bahkan mungkin tak kita kenal sama sekali. Tetapi tidak berhenti sampai situ, jika kita tinjau secara makro, MUKER bahkan dapat menentukan masa depan Indonesia.

**************************************************************************
ditulis di suatu pagi yang sedih

'Strategi' dalam Organisasi Kemahasiswaan

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan ‘Organisasi Mahasiswa dalam Perspektif Sistem’. Akan lebih baik jika pembaca membaca artikel tersebut terlebih dahulu. Artikel dapat diakses di http://romansamahasiswa.blogspot.com/2014/01/organisasi-mahasiswa-dalam-perspektif.html

Beberapa hari yang lalu saya baru membaca salah satu tulisan yang dibuat oleh Michael E. Porter, salah satu professor bisnis paling terkemuka di dunia. Porter menulis artikel tentang ‘What is strategy?’. Tulisan yang sangat menarik, meski telah berumur cukup tua untuk sebuah tulisan ilmiah (ditulis pada tahun 1996). Porter mengkritisi cara para pebisnis mendefinisikan ‘strategi’ di mana paradigma lama memandang strategi sebagai cara untuk meningkatkan performa setiap divisi dalam perusahaan.

What is Strategy?
Pada dasarnya strategi adalah langkah – langkah besar yang harus dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Setiap entitas pasti memiliki strategi. Misal jika anda mahasiswa dan tujuan anda adalah mendapat nilai bagus, anda pasti memiliki strategi untuk mencapainya, misal dengan belajar setiap setelah kelas, mengerjakan tugas H+1 tugas dikasih, dll. Begitu juga dengan perusahaan. Setiap perusahaan memiliki visi, dan untuk mencapai visi tersebut tentu membutuhkan strategi.

Menurut Porter, strategi memiliki tiga prinsip utama. Prinsip pertama adalah adanya ‘positioning’. Strategi perusahaan harus dapat menentukan bagaimana posisi perusahaan tersebut dalam pasar. Yang dimaksud dengan posisi adalah bagaimana konsumen memandang perusahaan tersebut sehingga perusahaan tersebut memiliki kekuatan pada pasar. Positioning perusahaan dalam pasar dapat muncul karena tiga hal, yakni 1) variety based positioning (positioning karena jenis produk yang unik), 2) needs based positioning (positioning karena mengakomodasi berbagai kepentingan suatu segmen konsumen), dan 3) access based positioning (positioning akibat kemudahan konsumen untuk mendapatkan produk sehingga produk semakin diminati).

Prinsip berikutnya adalah adanya trade-offs. Setiap strategi pasti memiliki tradeoff. Tradeoff adalah pengorbanan yang harus dilakukan untuk mendapatkan suatu hal lainnya. Misal jika anda diundang untuk traktiran ulang tahun jam 7 malam, sedangkan anda mengikuti les bahasa inggris pada waktu yang sama. Jika anda ingin mengikuti traktiran, berarti anda tidak dapat les bahasa inggris. Les bahasa inggris adalah tradeoff dari keputusan anda untuk mengikuti traktiran. Begitu juga dalam perusahaan. Strategi suatu perusahaan harus mengacu pada visinya. Untuk mencapai visi perusahaan, terkadang jajaran direktur harus membahas langkah apa yang diambil dan tradeoff apa yang dikorbankan. Kesalahan yang biasa terjadi dalam perusahaan adalah ia melupakan jati dirinya. Tidak konsisten dengan strateginya. Perusahaan seringkali mengadopsi business process, teknologi, sistem informasi dan hal – hal lain dari perusahaan lain yang dianggap membawa kesuksesan kepada perusahaan lain tersebut. Padahal belum tentu apa yang dilakukan oleh perusahaan lain tersebut sejalan dengan jati diri perusahaannya. Alhasil, strategi hanya menjadi ‘asal up to date’. Dan perusahaan pun cenderung menjadi perusahaan peniru yang tidak akan memenangi pasar.

Prinsip terakhir adalah adanya fit-ness (kesesuaian/kecocokan, bukan fitness yang ke gym buat body building). Fit-ness adalah prinsip dari strategi yang paling krusial. Fit-ness adalah bagaimana kesesuaian business process antara satu divisi dengan divisi lainnya. Fit-ness adalah kondisi di mana interaksi antar divisi menyebabkan meroketnya performa perusahaan secara keseluruhan. Fit-ness berbicara tentang bagaimana rantai nilai dalam perusahaan berjalan sehingga membentuk ikatan antar rantai yang sangat kuat. Fit-ness berbicara tentang kesinambungan dan keterkaitan antar divisi yang menjadi competitive advantage bagi perusahan. Misal perusahaan terdiri dari divisi finansial, divisi teknologi, divisi marketing, divisi operasional dan divisi informasi. Aktivitas dari salah satu divisi yang memberikan value kepada konsumen, menyebabkan value yang dihasilkan oleh divisi lain juga meningkat. Alhasil, dengan adanya fit-ness, perusahaan pesaing tidak dapat meniru business process dengan mudah. Jika pesaing meniru konsep dari salah satu divisi, belum tentu peniruan tersebut dapat diterapkan oleh pesaing karena adanya kesinambungan rantai nilai berkat fit-ness dari perusahaan yang ditiru (sedangkan perusahaan peniru tidak memiliki fit-ness tersebut).

Prinsip Strategi yang Relevan dengan Organisasi Kemahasiswaan
Dalam menganalisa strategi pada organisasi kemahasiswaan, penulis membatasi definisi organisasi kemahasiswaan sebagai lembaga eksekutif kemahasiswaan baik di tingkat universitas, tingkat fakultas maupun tingkat himpunan/jurusan. Organisasi – organisasi tersebut biasanya memiliki berbagai bidang/divisi yang memiliki fungsi – fungsi masing masing. Contoh bidang/divisi yang biasa ada adalah kesekretariatan, PSDM, pengabdian masyarakat, olahraga, dll.

Berdasarkan definisi tersebut, maka prinsip strategi yang harus dipenuhi oleh organisasi kemahasiswaan adalah prinsip kedua dan prinsip ketiga. Prinsip pertama, strategic positioning, tidak perlu ditinjau karena pada umumnya lembaga – lembaga tersebut tidak memiliki kompetitor dengan model organisasi yang sama bagi target pasarnya.

Adakah Organisasi Kemahasiswaan yang Memikirkan Tradeoff?
Analisa pertama dilihat dari tradeoff. Sudahkah pemangku jabatan di organisasi kemahasiswaan memikirkan tradeoff? Setiap mencalonkan diri menjadi calon ketua, mahasiswa pasti memiliki hal besar yang ingin dia bawa dalam bentuk visi dan misi lembaganya. Pada visi dan misi lembaganya tentu tersirat fokus lembaga yang akan ia bawa selama setahun ke depan. Misal suatu lembaga memiliki fokus pengembangan IPTEK mahasiswanya, atau fokus pengabdian masyarakat, atau fokus pengembangan prestasi olahraga dan seni, atau fokus – fokus lainnya. Pertanyaannya adalah apakah fokus tersebut benar – benar diejawantahkan (dituangkan) dalam hal – hal yang lebih mendetil seperti divisi – divisi yang dibuat atau proker – proker yang diusung?

Misal ada lima tema dalam suatu organisasi, yakni tema A, B, C, D dan E. Tema A bertentangan dengan tema D. Tema C dan tema A memiliki hubungan yang erat karena kemiripan tema tersebut. Untuk kepengurusannya, lembaga ingin fokus kepada tema A. Berdasarkan konsep strategi, seharusnya lembaga meningkatkan proker – proker pada tema A dan tema C (karena tema C berkaitan dengan tema A). Selain itu lembaga juga seharusnya mengurangi intensitas proker tema D karena berpotensi mengurangi nuansa dan pencapaian tema yang menjadi fokus (tema A). Itu baru strategi!

Nyatanya sebagian besar lembaga hanya menurunkan fokus utama lembaganya menjadi proker – proker unggulan dan pembuatan proker – proker unggulan tersebut telah disebut ‘strategi’. Padahal strategi bukan hanya menyangkut satu divisi yang mengusung satu tema, tapi strategi adalah keseluruhan. Sudah selayaknya ada divisi yang ‘mengalah’ jika memang kegiatan divisi tersebut mengurangi nuansa tema yang menjadi fokus lembaga.

Fit-ness Antar Divisi Organisasi Kemahasiswaan
Satu lagi prinsip strategi yang seharusnya dimiliki oleh organisasi kemahasiswaan adalah tentang fit-ness. Berdasarkan teori strategi, dengan adanya fit-ness suatu perusahaan tidak akan dapat diimitasi dengan mudah karena membentuk value chain yang unik. Jika kita meninjau organisasi kemahasiswaan, adakah interaksi antar bidang yang menunjang fungsi organisasi tersebut? Misal sebuah organisasi memiliki 6 bidang, yaitu kesekretariatan, humas, pengabdian masyarakat, iptek, seni dan olahraga. Apakah ada interaksi antar bidang tersebut? Apakah bidang tersebut harus melakukan komunikasi satu sama lain sehingga menciptakan fit-ness? Atau sebenarnya setiap bidang tersebut dapat berdiri secara mandiri menjadi organisasi sendiri, menjadi lembaga kesekretariatan, lembaga humas, lembaga pengabdian masyarakat, lembaga iptek, lembaga seni dan lembaga olahraga tanpa mengurangi fungsi setiap bidang tersebut?

Dalam tulisan sebelumnya tentang Organisasi Mahasiswa dalam Perspektif Sistem, saya menganalisa bahwa interaksi antar bidang harus ada, jika organisasi mahasiswa benar – benar ingin disebut ‘organisasi’. Dalam bahasan kali ini, tidak hanya interaksi yang harus dibentuk, tetapi juga kualitas dari interaksi tersebut. Interaksi harus membentuk suatu nilai tambah bagi output organisasi kemahasiswaan yang unik dan lebih baik jika dibandingkan dengan setiap bidang menjalankan fungsinya masing – masing. Interaksi ini harus diatur dalam sebuah blueprint strategi yang seharusnya didisain sejak awal kepengurusan lembaga kemahasiswaan.

Menurut kacamata penulis fit-ness dalam organisasi kemahasiswaan umumnya dijawantahkan dalam bentuk nilai – nilai yang menjadi ‘ciri’ organisasi tersebut pada suatu kepengurusan. Misal organisasi yang ‘semangat’, ‘dinamis’, ‘akrab’, ‘intelek’, atau nilai – nilai pokok penggerak organisasi lain yang diusung oleh ketua lembaga. Belum banyak organisasi kemahasiswaan yang mentranslasi nilai – nilai tersebut menjadi strategi konkrit yang komprehensif dan dikontrol pelaksanaannya. Nilai – nilai tersebut pun tidak semuanya berhubungan dengan fit-ness.



Salah satu tujuan adanya organisasi kemahasiswaan adalah pembelajaran bagi mahasiswa untuk mengelola sebuah sistem yang subsistem paling berpengaruhnya adalah unsur ‘mannusia’. Namun akan sampai kapan mahasiswa hanya menjalani organisasi yang ‘begitu – begitu’ saja? Teori organisasi dan strategi semakin maju sehingga seharusnya organisasi kemahasiswaan mampu menerapkan teori – teori tersebut. Jika sejak mahasiswa kita sudah dapat menjalankan organisasi yang baik maka saat di dunia kerja nanti, baik pemerintahan maupun swasta, kita pasti dapat menjadikan tempat kerja/kontribusi kita menjadi lebih baik pula. Ya, karena semuanya berawal di bangku kuliah.

Sunday, February 9, 2014

#Share Surat Terbuka Untuk Peserta Muker (IV) FTUI

Beberapa hari yang lalu ketika akan sidang pleno di ruang MPM, saya iseng membongkar lemari yang terdapat di ruang tersebut. Dalam lemari itu terdapat berbagai dokumen – dokumen lama BPM FTUI dan SM FTUI. Salah satu dokumen yang menarik perhatian saya adalah arsip Muker IV IKM FTUI (arsip tahun 1991-1996). Muker atau Musyawarah Kerja adalah forum bagi anggota IKM FTUI yang diadakan minimal sekali dalam empat tahun untuk menelaah ulang peraturan – peraturan tertinggi yang ada di IKM FTUI, baik itu Kode Etik IKM FTUI, GBHI, serta PD PRT IKM FTUI. Dalam arsip tersebut terdapat sebuah surat, yang saat membacanya saya langsung tergugah untuk merefleksikan sudah berapa banyak hal yang kita lakukan selama perkuliahan ini. Berikut suratnya.

******************************************************************************

SURAT TERBUKA UNTUK PESERTA MUKER FTUI

            Dengan suatu lompatan evolusioner manusia mulai menggpai suatu cita – cita ideal, yang demi pemenuhannya terkadang ia melupakan kepentingannya sendiri. Konsentrasinya dicurahkan sepenuh keyakinan dan pengbdiannya pada kemanusiaan. Datanglah suatu tahap ketika untuk mewujudkan cita – citanya itu dia tidak hanya mengabaikan kesenangnnya, posisi dan kekayaannya, tetapi bahkan mempertaruhkan kehidupannya.
            Seorang ilmuwan sejati berupaya melakukan penemuan, bukan untuk mengbdi pada tirani atau untuk memperoleh pujian. Tetapi ia melakukan itu untuk menambah pengetahuan dan pengabdian pada kemanusiaan.
            Seorang pekerja sosial yang tulus berusaha untuk melayani pengobatan bagi penderita, untuk menolong mereka yang sengsara dan tertindas, bukan demi pujian dan popularitas. Tetapi semua itu demi kemanusiaan dan pengabdian.
            Sebagian kecil mahasiswa (yang pasti bukan mahasiswa FTUI) berusaha memperjuangkan kaum tertindas. Mereka tidak tertarik lagi dengan gelar akademis, padahal jutaan anak Indonesia (nah ini baru termasuk hampir keseluruhan mahasiswa FTUI) berebutan meraihnya dengan belajar serius, merayu dosen atau apa saja. Mereka juga tidak lagi menggubris karier di kota besar, dalam ruangan ber AC, meja ber PC, dan sekretaris yang KC (baca: kece). Padahal untuk itu jutaan anak muda berlomba.
            Seorang penganut ideology tertentu menghadapi segala macam kesulitan dan bahaya serta berkorban untuk kebebasan negaranya.

            Julukan apa yang tepat bagi orang – orang itu?
            Dan bagaimana menafsirkan kerja mereka?

            Tidak ada celanya anda memanggilnya seorang idealism karena mungkin apa yang ia perjuangkan pada realitanya belum tentu baik dalam alam ataupun dalm masyarakat. Dia hanya mempersepsikannya sebagai sesuatu yang ideal dalam pemikirannya dan menjadikannya sebgai bagian dari kehidupannya. Hasrat yang seperti itu menjadi kekutan pendorong yang mengarakkan untuk meneruskan segala usahanya tersebut hingga apa yang sebelumnya merupakan gagasan bisa terwujud dan menjadi kenyataan sejarah.
            Setiap ajaran ideologis mesti memiliki suatu gagasan yang belum terwujud sebagai suatu realitas tetapi pengorbanan harus dilakukan untuk mencapainya. Inilah suatu yang tidak bisa dijelaskan oleh teori materialism. Hal mengnenai gagasan tersebut tidak bisa ditafsirkan oleh hukum materi dan alam.
            Gagasan ideal tersebut merupakan nilai – nilai luhur yang harus diperjuangkan oleh manusia, dan demi untuk itu manusia harus selalu siap berkorban. Jika anda ingin menemukan sosok pribadi yang benar – benar memiliki kualitas sebagai manusia maka carilah seseorang yang berbakti pada gagasan ideal dan nilai – nilai luhur tersebut yang ada di luar hukum – hukum psikologi dan biologi.
            Sebaiknya dalam Muker nanti hal yang terpenting dikaji adalah, tipe mahasiswa seperti apa yang ingin dihasilkan oleh FTUI!!!
Apakah FTUI akan memproduksi mahasiswa dengan IPK 3, tpi tidak pernah mau tahu dengan permasalahan lingkungannya atau FTUI akan memproduksi mahasiswa seperti yang tergambar di atas. Kesemuanya itu tidak terlepas dari program senat secara keseluruhan.
            Bisakah FTUI melahirkan sosok manusia idealis dengan kegiatan senat yang lebih menjurus adventure. Coba kita renungkan manusia seperti apa yang bisa dihasilkan dengan BKST, LML, 3M, Sunday Ars, malam kekerabatan dan masih banyak kegiatan yang pelaksanaannya serba tidak jelas. Begitu juga Mabim apakah mampu menciptakan seorang yang idealis? Gema BKST mungkin didengan hampir oleh semua warga UI, tapi sampai dimanakah gema kelompok ilmiah teknik?

            Terbesit suatu harapan mudah – mudahan dalam Muker nanti minimal bisa dirumuskan apa yang menjadi sasaran utama anda. Jika anda ingin memproduksi mahasiswa yang bisa menyelesaikan studi dengan cepat:
-          Buatlah suasana kampus yang tenang (seperti saat ini) dan tidak perlu mempermasalahkan hal – hal yang tidak berhubungan dengan studi.
-          Aktifkan kelompok – kelompok ilmiah di teknik
-          Kondisikan mahasiswa supaya mereka tidak sempat memperhatikan lingkungannya

Tapi juka anda ingin menciptakan mahasiswa yang sesungguhnya maka anda harus merombak program^2 anda yang lalu. Cobalah anda renungkan, mahasiswa seperti apa yang akan terbentuk dengan kegiatan seperti BKST, 3M, Sunday Arts, malam kekerabatan. Apakah anda pernah mengevaluasi hasil kegiatan tersebut.
            Dari mahasiswa teknik yang dihasilkan, dapat dilihan program^2 anda yang lalu terbukti mencapai sasaran. Dengan program kegiatan anda lebih banyak hura – huranya maka terbentuklah mahasiswa yang tidak peka terhadap masalah sosial dan mahasiswa yang mementingkan dirinya sendiri.
            Yang menjadi pertanyaan apakah hal ini akan anda biarkan saja atau anda mempunyai keinginan merubahnya. Jika anda ingin merubahnya, yang paling penting anda harus melatih mahasiswa FTUI supaya peka terhadap masalah sosial, dan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti membuat bulletin yang isinya khusus tentang permasalahan sosial di sekitar anda atau mungkina anda (fungsionaris senat) perlu belajar dari rekan anda di universitas lain.
            Jika anda berhasil menciptakan mahasiswa yang peka terhadap masalah sosial dan berbakti pada gagasan ideal serta nilai^2 luhur, mudah – mudahan cita - cita bangsa ini akan tercapai.

Wahai fungsionaris FTUI!!!! Tunjukkanlah engkau mampu berbuat tidak hanya bicara dan mengotori dinding kampus dengan slogan – slogan kosongmu.

Kalau anda memang tidak mampu berbuat apa – apa lebih baik anda diam saja dan jangan anda menjadi kelompok yang menyuarakan omong kosong.

********************************************************************************

Surat tersebut cukup menampar bagi saya. Sudah sejauh mana kita memberikan manfaat bagi orang – orang di sekitar kita. Atau selama ini kita hanya memedulikan diri kita pribadi?



Notes ini semata – mata bertujuan untuk membagi cerita kepada pembaca. Tidak ada intensi untuk menyudutkan pihak manapun.

Sunday, January 26, 2014

Hukum Truk Sampah

kisah ini disadur dari majalah Shift - issue 6

Suatu hari, seorang pebisnis menyetop taksi untuk mengejar penerbangan. Selama berada dalam perjalanan ke bandara, supir taksi menyetir di sebelah kanan. Tiba - tiba, sebuah mobil lain keluar dari area parkir langsung mengambil jalan di depan taksi. Supir taksi kaget dan me-rem mendadak, hingga taksinya sedikit tergelincir. Terlambat setengah detik saja, mereka pasti tabrakan!

Pengemudi mobil lain itu mengeluarkan kepalanya keluar jendela mobil dan mulai memaki supir taksi. Namun si supir taksi hanya tersenyum dan melambaikan tangan. Sip ebisnis heran, kok supir taksi bisa begitu ramah pada orang yang hamper menyelakainya? Lalu ia berkata dengan gemas, “Kalau saya jadi anda, saya tidak akan sebaik itu pada orang yang hamper mengirim kita ke rumah sakit. “ Saat itu si supir taksi mengajarkan ‘Hukum Truk Sampah’.

Supir taksi menjelaskan bahwa sebagian besar orang bagaikan truk sampah. Mereka pergi kemana – mana, membawa – bawa sampah: segala frustasi, kemarahan dan kekecewan. Ketika sampah telah menggunung, mereka merasa terdesak untuk segera memuntahkannya di suatu tempat. Kadang anda lah yang jadi tempat pembuangan tersebut. Tidak perlu menganggapnya serius. Tersenyumlah, lambaikan tangan, doakan mereka, dan berlalulah seolah taka da yang terjadi. Jangan mau menjadi tempat penampungan dari sampah yang mereka muntahkan, atau anda juga akan memuntahkannya keppada orang – orang di tempat kerja, di ruah atau di jalanan. Percayalah, hidup tidak akan nikmat jika anda memilih untuk menjadi truk sampah yang lain.

Saturday, January 11, 2014

Organisasi Mahasiswa dalam Perspektif Sistem



Setelah memelajari hakekat dari ‘sistem’ dan berkecimpung dalam organisasi kemahasiswaan, saya jadi sering merenung tentang hubungan antara kedua hal tersebut. Kita sering menyebut bahwa organisasi kemahasiswaan itu adalah sistem karena memiliki struktur dan setiap bagian dari struktur memiliki ‘kerjaan’ yang berbeda – beda. Pertanyaannya adalah apakah pernyataan tersebut benar?

Apa Itu Sistem?
Hal pertama yang perlu kita definisikan adalah sistem itu sendiri. Sistem adalah sekelompok komponen yang saling berinteraksi dalam aturan – aturan tertentu untuk mencapai sebuah tujuan. Ada tiga hal yang menjadi kata kunci dalam definisi sistem, yaitu ‘komponen’, ‘saling berinteraksi’ serta ‘tujuan’. Tiga hal ini yang membedakan sistem dari kelompok komponen.



Kedua gambar di atas adalah gambaran perbedaan antara sistem dengan kelompok komponen. Kedua gambar di atas memiliki perbedaan dalam aspek ‘interaksi’ dan ‘tujuan’. Sederhananya, sistem dan kelompok komponen memiliki 3 perbedaan, yaitu:

 

Sudah ‘Sistem’kah Organisasi Kemahasiswaan?
Analisa terhadap organisasi kemahasiswaan didasarkan oleh definisi dari sistem serta perbedannya dengan kelompok komponen. Syarat pertama dari sebuah sistem adalah komponen. Organisasi kemahasiswaan tentunya memiliki komponen – komponen berupa bidang – bidang atau biro – biro yang terstruktur serta memiliki fungsinya masing – masing. Setiap organisasi kemahasiswaan tentu memiliki struktur, sehingga berdasarkan syarat pertama dapat dibilang bahwa organisasi kemahasiswaan adalah sistem.

Syarat kedua adalah interaksi. Poin ini perlu kita khayati dan kita analisa lebih dalam. Apakah ada interaksi antara setiap bidang dan biro dalam organisasi? Apakah ada interaksi antara bidang A dengan bidang B, C dan D? Dalam sebuah sistem, seluruh komponen memang tidak berinteraksi dengan seluruh komponen. Sebuah komponen hanya akan berinteraksi dengan beberapa komponen lainnya, tidak dengan seluruh komponen. Namun yang pasti tidak ada satupun komponen yang sama sekali tidak berinteraksi dengan komponen lainnya. Silahkan cermati organisasi yang sedang kita jalankan, apakah ada bidang/biro yang berdiri sendiri tanpa berinteraksi dengan bidang/biro lainnya?

Syarat ketiga adalah adanya tujuan bersama yang dicapai dengan interaksi serta fungsi setiap komponen. Mesin di atas memiliki fungsi untuk menghidupkan dan menjalankan mobil. Fungsi dapat dicapai jika seluruh komponen menjalankan fungsinya masing – masing dan jika interaksi antarkomponen terjadi. Bagaimana dengan organisasi kemahasiswaan? Terkadang, sebuah organisasi gagal untuk mendefinisikan tujuannya. Tujuan bersama serta peran setiap bidang untuk tujuan tersebut perlu didefinisikan dengan baik. Jika ada satu saja komponen (re:bidang) yang tidak tahu perannya dalam mencapai tujuan, apalagi tidak memiliki peran dalam mencapai tujuan tersebut, maka organisasi tersebut bukanlah sebuah sistem. Organisasi tersebut hanya sekumpulan komponen.

Pertanyaan berikutnya dari syarat ketiga adalah, apakah ada interaksi antar bidang dalam organisasi, dan apakah interaksi tersebut berkontribusi terhadap pencapaian tujuan organisasi?  Jika interaksi yang ada tidak membantu organisasi mencapai tujuannya maka lebih baik interaksi itu dihapus saja karena hanya membuang – buang sumber daya.

Syarat terakhir dari sebuah sistem adalah jika salah satu komponennya diambil, maka dapat terjadi kegagalan sistem. Jika gear pada mesin tersebut dilepas, maka mesin tidak akan berjalan. Mari kita simulasikan analogi tersebut dengan organisasi kemahasiswaan. Apakah jika salah satu bidang dalam organisasi dihapus, lantas organisasi tersebut akan gagal beroperasi? Sebagai contoh jika bidang humas dalam organisasi kemahasiswaan dihapus, apakah tujuan organisasi kemahasiswaan tersebut tidak akan tercapai?

Rekayasa Organisasi Kemahasiswaan
Pada hakekatnya sistem dapat dibedah. Sistem dapat direkayasa. Untuk menjadikan sebuah organisasi kemahasiswaan menjadi sebuah sistem, ada tiga hal yang harus dilakukan. Hal pertama adalah pendefinisian tujuan bersama dari sebuah sistem. Tujuan ini dapat bersifat tunggal maupun majemuk. Namun tujuan yang dibuat harus sebuah tujuan besar. Tujuan – tujuan kecil yang tidak memiliki keterkaitan tidak ada bedanya dengan kumpulan komponen yang memiliki tujuan masing – masing.

Hal kedua adalah merekayasa komponen – komponen, termasuk interaksi antar komponen yang menyongsong tujuan organisasi. Setiap komponen harus didisain agar memiliki kontribusi terhadap tujuan yang ingin dicapai. Setiap komponen harus didisain agar memiliki interaksi dengan komponen lainnya. Interaksinya pun harus didisain agar jika tidak ada interaksi, maka salah satu komponen tidak dapat menjalankan fungsinya (sama sekali, jika memungkinkan) yang berakibat gagalnya tujuan organisasi.

Hal ketiga adalah menggugah dan menyadarkan seluruh komponen (bidang) bahwa mereka adalah penting. Menyadarkan setiap bidang terkait kontribusinya terhadap tujuan organisasi. Menyadarkan setiap bidang bahwa jika bidang tersebut tidak ada, maka tujuan organisasi tidak akan tercapai. 



Ketiga langkah tersebut bersifat iteratif. Pertama, anda definisikan tujuan organisasi. Kedua rekayasa bidang dan interaksi antar bidang. Jika ada bidang yang selama ini ada, tetapi fungsinya tidak dapat direkayasa agar berkorelasi dengan tujuan organisasi maka ada dua opsi: hapus bidang tersebut, atau definisikan ulang tujuan organisasi. Setelah itu diskusikan konsep bidang dan interaksi antar bidang dengan pengurus inti bidang terkait agar mereka tergugah dan sadar akan pentingnya bidang tersebut. Jika pengurus tidak setuju atau tidak tergugah dengan konsep yang dibuat, maka ada tiga opsi yang harus didiskusikan dengan pengurus terkait: hapus bidangnya, rekayasa ulang bidangnya, atau definisikan ulang tujuan organisasi.

Ketiga langkah di atas mungkin terkesan dipaksakan. Namun jika kita ingat kembali bahwa orang – orang di organisasi kemahasiswaan umumnya tidak dibayar, maka perlu ada konsep yang memastikan dan menyadarkan bahwa setiap orang adalah penting. Perlu ada kesatuan frekuensi tentang apa yang akan dicapai. Perlu ada hubungan antar bidang yang menyebabkan kedekatan antar pengurus dalam organisasi itu sendiri. Dan itu semua dapat terwujud jika organisasi kemahasiswaan benar – benar sebuah ‘sistem’.


Analisa di atas didasarkan dengan memandang organisasi kemahasiswaan dari perspektif sistem. Masih banyak perspektif – perspektif lain yang dapat dipakai untuk menganalisa agar terwujud organisasi kemahasiswaan yang ‘successful’.