Hello world! Kali ini saya mau curhat
sedikit tentang insight – insight yang
saya dapatkan selama mengerjakan tugas akhir (skripsi) di program sarjana
Teknik Industri UI. Singkat kata, skripsi saya berjudul ‘Evaluasi Kebijakan
Transisi Kendaraan BBM ke BBG dengan Menggunakan Permodelan Berbasis Agen
(Studi Kasus DKI Jakarta)’. Ya, judul yang cukup panjang menurut saya buat
sebuah skripsi! Tapi tenang, sebenarnya skripsinya gak seberat judulnya. Halaman
skripsi saya hanya 61 halaman!
Sedikit cerita
tentang latar belakang tema yang saya angkat, believe it or not, jumlah kendaraan roda empat alias mobil di DKI
Jakarta berjumlah hingga 25% dari seluruh jumlah mobil yang ada di Indonesia!
Bisa kita bayangkan kenapa jalanan di Jakarta sering banget macet. Tapi bukan
itu yang saya angkat, melainkan potensi dibalik angka tersebut. Seperti yang
kita tahu, transportasi darat Indonesia sudah sangat amat amat amat bergantung
dengan bahan bakar minyak yang notabenenya tidak baik (polusi cukup berbahaya,
disubsidi pula). Di sisi lain pemanfaatan gas bumi (yang sekitar 48% produksi
lokal kita malah diekspor alih – alih dimanfaatkan untuk kepentingan domestik)
sebagai bahan bakar kendaraan masih sangat minim. Oleh karena itu DKI Jakarta
dapat menjadi potensi besar untuk melakukan transisi kendaraan bahan bakar
minyak (BBM) menuju bahan bakar gas (BBG). Jika transisi berhasil dilakukan di
Jakarta maka besar kemungkinan akan terjadi efek domino ke daerah – daerah lain
di Indonesia!
Oke, itu sedikit
latar belakang skripsi saya. Lanjut ke rumusan permasalahan……
Masalahnya,
transisi itu gak gampang! Banyak negara yang berhasil menyukseskan transisi
kendaraan menuju bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, namun lebih banyak
negara yang belum berhasil melaksanakan transisi tersebut. Diperlukan kebijakan
yang komprehensif agar transisi kendaraan dapat berhasil. Dan itulah yang saya
lakukan! Menganalisa tiga opsi kebijakan transisi kendaraan BBM ke BBG
(pemberian converter kit gratis,
pendirian SPBG, dan pemberian subsidi pada pembelian converter kit) dengan menggunakan pendekatan permodelan berbasis
agen.
Refleksi #1 : Dilema dalam menentukan
kebijakan
Pengambilan
keputusan (bahasa kerennya: decision
making) itu gak simple! Sederhananya kita pasti pernah (bahkan mungkin
setiap hari) dihadapi dengan pengambilan keputusan: nanti ketemu teman di blok
m naik apa, nanti siang makan siang pake apa, nanti malam tidur sama istri yang
mana (eh!). Misal anda mau ke blok m dari depok, ada berbagai opsi: 1) naik
motor, 2) naik bis depok-blok m, 3) naik kereta ke sudirman, sambung kopaja ke
blok m. Tentu anda akan berpikir kalau naik motor gampang, cepat, tapi capek
dan gak nyaman. Kalau naik bis malah lebih murah (Cuma 4000 udah sampe blok m
coy!), tapi panas dan sumpek (kopaja blok m – depok sering banget penuh dan
sumpek abis). Kalau naik kereta sambung kopaja agak mahal, tapi lebih cepat
dari naik bis depok-blok m dan jauh lebih nyaman. Hasilnya: dilema!
And that’s one of the first steps policy
analysts do: deciding and making explicit the criteria! Dilema terjadi
karena ada keunggulan dan kelemahan (bahasa kerennya: tradeoff) dari setiap alternatif. Masalahnya, seringkali kita
memikirkan tradeoff tersebut secara abstrak seperti yang dijelaskan
di paragraf sebelumnya. Tradeoff yang
abstrak tersebut menyebabkan pengambilan keputusan kita tidak optimal sehingga
keputusan yang kita ambilpun mungkin bukan yang terbaik. Tradeoff yang abstrak tersebut harus diubah ke dalam kriteria –
kriteria yang jelas. Dalam kasus di atas misalnya, maka kriterianya adalah: 1)
ongkos, 2) waktu, 3) kenyamanan. Baru deh setiap alternatif dinilai berdasarkan
tiga kriteria tersebut. Dan yang paling penting: make it explicit! Gampangnya, bikin dalam tabel, barisnya itu
alternatif A, B, C dan kolomnya adalah kriteria ongkos, waktu, dan kenyamanan. Tinggal dinilai deh setiap alternatif
berdasarkan kriteria – kriteria tersebut.
Yes, making explicit matters a lot! Otak
kita tidak bisa memproses banyak informasi secara simultan, sehingga keputusan
yang diambil jika alternatif hanya dipikirkan secara abstrak tidak akan
seoptimal keputusan jika dibuat secara eksplisit dalam tabel. Contoh seperti
kasus di atas, jika kita menilai alternatif dengan tidak eksplisit, kita lupa menilai
alternatif naik motor dari segi biaya. Kita hanya membandingkan aspek waktu
dari naik bis (opsi kedua) dan naik kereta-sambung kopaja (opsi ketiga), tidak
membandingkannya dengan opsi pertama (naik motor). Perbandingan tingkat
kenyamanan untuk setiap opsinya pun tidak jelas, tidak dengan standar yang sama
antara satu opsi dengan opsi lainnya. Alhasil proses penentuan kebijakan kita
menjadi tidak efektif dan efisien.
Hal tersebut
juga yang sering saya alami selama 3-4 tahun berorganisasi di kampus. Seringkali
saat ingin membuat keputusan, diskusi terjadi sangat panjang lebar karena tradeoff antar alternatif keputusan
hanya dibicarakan (alias didiskusikannya secara abstrak) alih – alih membuatnya
eksplisit (dalam tabel, misalnya). Seringkali pendapat yang diterima dan diaminin
adalah pendapat yang diucapkan oleh orang terakhir dalam suatu diskusi,
sedangkan pendapat – pendapat sebelumnya akhirnya diacuhkan. Alhasil banyak
pendapat – pendapat cemerlang yang tidak mendapat perhatian secara imbang
dengan pendapat – pendapat lainnya.
Dalam konteks
penelitian saya, penentuan kebijakan transisi kendaraan BBM ke BBG ditentukan
berdasarkan aspek transisi (berapa jumlah kendaraan yang terkonversi dan
bagaimana pola konversinya?), aspek keberlangsungan bisnis SPBG (apakah setiap
SPBG memiliki pangsa pasar yang cukup untuk mempertahankan profitabilitasnya?),
serta aspek ekonomi (apakah pemerintah mengalami keuntungan secara finansial
akibat kebijakan yang dilaksanakan?). Setiap alternatif kebijakan memiliki output yang unggul pada salah satu aspek
kriteria di atas, sehingga kebijakan dapat dipilih berdasarkan proposisi nilai
yang dianggap paling penting dengan tidak melupakan aspek – aspek kriteria yang
lain.
Melakukan
skripsi di bidang yang menyentuh analisis kebijakan membuka mata saya bahwa
penentuan kebijakan yang dilakukan pemerintah itu dipenuhi dilema. Tak heran
bahwa beberapa kebijakan membutuhkan kajian yang lebih mendalam dan lebih lama
akibat kompleksitas dilema tersebut. Ironinya, sebagian kebijakan tidak melalui
proses pengambilan keputusan yang cukup komprehensif (setidaknya seperti yang
saya jelaskan di bagian ini). Masih terbuka room
for improvement yang sangat lebar untuk membuat pengambilan keputusan di
pemerintahan menjadi lebih efektif dan efisien.
Oke! Cukup
sekian curhatan saya dalam edisi tulisan kali ini. Masih akan ada curhatan –
curhatan skripsi lainnya di postingan yang berbeda, so stay tuned!
Skripsi uniang maneeee...
ReplyDeletePengen punya toga iniiihhh... hiks!